17 September 2011

Janggut dan Celana Cingkrang Yes, Terorisme NO!

oleh Abu Khaleed pada 28 April 2011 jam 2:26

Aksi terorisme kembali menjadi perbincangan publik setelah serentetan ledakan bom terjadi beberapa waktu lalu. Sebagian kalangan mulai mencari-cari, siapa otak dari tindak terorisme tersebut dan apa akar ideologi yang mendasarinya. Stigma radikalisme pun kemudian dialamatkan kepada sebagian kelompok kaum muslimin. Namun sayangnya, Indikasi-indikasi radikalisme sebagai akar ideologi terorisme yang mereka munculkan ternyata hanya didasarkan pada pengamatan fisik atau penampilan luar saja.



Sebagai reaksi atas fenomena terorisme yang kembali marak ini, Ketua GP Anshar, NU beberapa waktu lalu menginstruksikan para kadernya untuk melakukan sweeping di masjid-mesjid NU terhadap orang-orang yang dianggap memiliki pemikiran radikal. Yang bersangkutan pun mengindikasikan orang-orang yang dimaksud itu dengan penampilan berjanggut dan bercelana cingkrang.



Terorisme adalah tindakan terkutuk yang sama sekali tidak direstui oleh ajaran Islam. Ia pun secara nyata lahir dari pemikiran radikal (ghuluw) dalam menafsirkan sebagian ajaran Islam. Namun, indikasi yang dibuat untuk mengungkap keberadaan orang-orang yang dianggap berpemikiran radikal diatas tidak bisa dijadikan tolak ukur. Indikasi-indikasi itu justru merupakan bagian dari ajaran Islam yang diakui oleh para ulama kaum muslimin dari sejak dahulu. Dari sini, ada sesuatu yang mesti diluruskan. Agar isu yang tengah hangat ini tidak menjadi bola liar yang dapat memunculkan tudingan, sangkaan dan fitnah yang kemudian dapat melukai sebagian kaum muslimin yang tidak bersalah.



Secara ringkas, penulis akan menyoroti dua substansi yang dianggap sebagai indikasi teroris dan radikalisme tersebut. Ia adalah janggut dan celana cingkrang. Bagaimanakah kedudukan dua substansi ini dalam perspektif para fukaha, termasuk dalam madzhab Syaf’i, madzhab fikih yang banyak menjadi acuan praktek ibadah kaum muslimin Indonesia.



Memelihara Janggut



Para ulama berbeda pendapat dalam hukum memelihara jenggot ke dalam dua pendapat:



Pendapat pertama, wajib. Ini merupakan madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan salah satu sisi dari pendapat Syafiiyyah.

Hanafiyyah

Dalam al-Durr al-Mukhtar dikatakan, “…adapun memotongnya (jenggot) dalam keadaan kurang dari itu (genggaman tangan) sebagaimana yang dilakukan sebagian orang-orang barat dan waria, maka tidak ada seorang pun yang membolehkannya.” [Lihat Ad-Durr al-Mukhtar dengan Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 3/398]

Malikiyyah

Al-Haththab berkata dalam al-Mawahib al Jalil Syarh Mukhtashar al Khalil, “Mencukur habis janggut dan kumis tidak boleh. Ia adalah bid’ah. Orang yang melakukanya harus dihukum, kecuali bagi yang berihram untuk Haji dan khawatir kumisnya kepanjangan.”

Hanabilah

Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al Ikhtiyarat, “Dan diharamkan mencukur habis janggut.”



As-Safariny dalam Ghidza al-Albab berkata, “Pendapat yang muktamad (kuat) dalam madzhab (Hambali) adalah haramnya mencukur habis janggut. Berkata dalam al Iqna`, haram mencukurnya. Begitu juga dalam Syarh al Muntaha dan yang lainnya. Dalam al Furu’ dikatakan, haram mencukurnya. Disebutkan oleh guru kami, disebutkan juga dalam al Inshaf, tidak dihikayatkan dalam masalah tersebut perbedaan pendapat.” [Ghizda al Albab 1/334]



Pendapat kedua, sunnah. Ini pendapat sebagian mutaakhkhirin (ulama belakangan) dari Syafi’iyyah, dan sebagiannya lagi berpendapat haram.



Syaikhul Islam Zakaria Al Anshari berkata dalam Asnaa al Mathalib, “Dimakruhkan mencabutnya pada awal tumbuhnya karena alasan ingin tampak muda atau penampilan…” begitu juga hal itu dikatakan oleh Al-Khatib as-Syarbini dalam Mughni al Muhtaj. [Asnaa al Mathalib 1/551]



Ibnu Hajar al-Haitsami dalam Tuhfatul Muhtaj, “Cabang: Mereka menyebutkan disini dalam permasalahan janggut dan yang semisalnya ukuran makruh, yaitu dicabut dan dicukur habis. Karena zahir perkataan para ulama kami bahwa mencukur atau mencabutnya adalah makruh secara mutlak. [Faidah]: berkata dua Syaikh (Rafi’i dan Nawawi), mencukur habis janggut adalah makruh. Akan tetapi Ibnu ar Rif’ah dalam Hasyiyah al Kafiyah menentang seraya berkata bahwa al Imam Syafi’i –radhiyallahu ‘anhu- menyatakan dalam Al-Umm tentang haramnya. Dikatakan pula oleh Zarkasyi, al-Halimy dalam Syu’abul Iman dan gurunya al Qaffal As Syasyiy dalam Mahasin As Syariah. Berkata al-Adzra’i, pendapat yang benar adalah haram mencukurnya secara menyeluruh, sebagaimana yang dilakukan oleh al Qalandariyyah.” Dinukil dari [http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&lang=A&Id=129988&Option=FatwaId]



Kesimpulannya, memelihara janggut adalah bagian dari ajaran Islam sebaimana yang dinyatakan oleh para ulama. Perbedaan para ulama hanya seputar wajib atau sunnah, dan pendapat mayoritas ulama adalah wajib. Perbedaan itu pun terjadi di kalangan mutaakhkhirin, sementara kalangan mutaqaddimin (ulama terdahulu) sepakat tentang wajibnya memelihara janggut dan haramnya mencukur habis atau mencabutnya. Oleh karena itu, Ibnu Hazm dalam Maratib al Ijma berkata, “Para ulama sepakat bahwa mencukur habis seluruh janggut tidak boleh.”



Celana Cingkrang



Memakai celana atau kain melebihi mata kaki dalam istilah syar’i disebut isbal. Jika dilakukan dengan disertai kesombongan, para ulama sepakat atas keharamannya, bahkan sekelompok ulama memasukkannya dalam kategori dosa besar. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Mengisbalkan kain dengan kesombongan adalah dosa besar.” (Al Fath 10/275) Jika tidak disertai kesombongan, dan tidak ada kebutuhan untuk melakukannya, maka para ulama berbeda pendapat ke dalam dua pendapat:



Pendapat pertama, makruh. Ibnu Qudamah berkata, “Makruh mengisbalkan gamis, kain, celana; karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengangkat kain. Jika ia dilakukan dengan kesombongan, maka haram.” [al Mughni 2/298]



Pendapat ini adalah pendapat yang muktamad di seluruh madzhab yang empat dan terkenal di kalangan fukaha. As Sahranfury rahimahullah berkata, “Para ulama berkata, “Yang sunnah dalam hal kain dan pakaian adalah setengah betis, boleh dan tidak makruh menurunkannya sampai mata kaki. Dan yang melebihi mata kaki adalah telarang. Jika dengan kesombongan, maka ia terlarang secara haram, jika tidak maka ia terlarang secara tanzih (makruh). [Bazdlu al Majhud 16/411]



Pendapat ini juga dinyatakan oleh para ulama yang lain. Diantaranya An Nawawi dalam al Minhaj (14/88), Ibnu Hajar dalam al Fath (10/274) As Syaukani dalam Nail al Authar (1/640)



Pendapat kedua, haram. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu al Arabi, Ibnu Taimiyyah, Amir As Shan’ani dan lain-lain. Dan ini pendapat yang kuat karena berdasar kepada dalil-dalil yang kuat. [Selengkapnya lihat di: http://www.saaid.net/Doat/asmari/fatwa/4.htm]



Kesimpulannya, sebagaimana nukilan diatas, bahwa tidak isbal atau cingkrang adalah perbuatan yang diakui oleh para ulama dari sejak dahulu. Perbedaan pendapat para ulama hanya berkisar antara sunnah dan wajib. Tidak ada satu pun dari kalangan para ulama yang menyatakan bahwa isbal adalah perbuatan mubah (boleh). Pendapat paling ringan adalah makruh dan paling berat adalah haram.



Jika demikian kedudukan kedua substansi di atas dalam syariat Islam, terlepas dari perbedaan para ulama seputar hukum keduanya, maka apakah pantas jika kaum muslimin sendiri menjadi alergi terhadapnya, apalagi mengait-ngaitkannya dengan isu terorisme? Mudah-mudahan tulisan ringkas ini dalam sedikit memberi pencerahan bagi sebagian kaum muslimin yang terlanjur memiliki pendangan negatif terhadap orang-orang yang mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Akhirnya kita katakan, “janggut dan celana cingkrang yes, terorisme no!.”



Wallahu 'alam.



Abu Khaleed -

No comments:

Post a Comment