27 April 2011

Tuhan Sembilan Senti

Tuhan Sembilan Senti
Oleh: Taufiq Ismail
Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi
perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi
orang yang tak merokok.
Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga
merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang
merokok.
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im
sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa
kubur hidup-hidup bagi orang yang tak
merokok.
Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi
merokok,
di ruang kepala sekolah…ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya
apakah ada buku tuntunan cara merokok.
Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk
orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang
merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula
merokok.
Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para
dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan
sangat berat bagi orang yang tak merokok.
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita.
Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok.
Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak
tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun
menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan
hidungnya mirip asbak rokok.
Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang
bergumul saling menularkan HIV-AIDS
sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan
cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau
di stop-an bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin
lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS.
Indonesia adalah sorga kultur
pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia,
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun
asap tembakau itu, bisa ketularan kena.
Di puskesmas pedesaan orang kampung
merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok.
Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan
bulutangkis, turnamen sepakbola
mengemisngemis mencium kaki sponsor
perusahaan rokok.
Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek
orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh
orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya,
pakai dasi, orang-orang goblok merokok.
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im
sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat
siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak
merokok.
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita.
Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk
sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning
dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.
Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka
terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti
panjangnya, putih warnanya, kemana-mana
dibawa dengan setia, satu kantong dengan
kalung tasbih 99 butirnya.
Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang,
tampak kebanyakan mereka memegang rokok
dengan tangan kanan, cuma sedikit yang
memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak
kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit
golongan ashabus syimaal?
Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan
AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud
dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al
hawwa’i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr
diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi).
Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang
rokok. Patutnya rokok diapakan?
Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa
yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena
pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada
alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.
Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas
hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan.
Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar
perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-
tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung
rokok mereka.
Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap,
dan ada yang mulai terbatuk-batuk.
Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini,
sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati
karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok
lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu
lintas.
Lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa
bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah
korban narkoba.
Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala
kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam
kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas
berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah
dan cerdasnya.
Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan
diri, tidak perlu ruku ’ dan sujud untuk taqarrub
pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk
dan fana dalam nikmat lewat upacara
menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan
ini.
Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi
berhala-berhala ini.

No comments:

Post a Comment