08 October 2011

KETIKA BERAMAL TANPA ILMU

KETIKA BERAMAL TANPA ILMU
Oleh
Ustadz Armen Halim Naro
Sebagai seorang muslim tentu setiap kali
mendirikan shalat lima waktu, atau shalat-shalat
yang lainnya. Dia selalu meminta ditunjukan
shirathul mustaqim. Yaitu jalan lurus yang telah
lama dilalui oleh orang-orang yang telah diberi
nikmat, dan dijauhkan dari jalan orang-orang
maghdhubi `alaihim (orang-orang yang Engkau
murkai), juga jalan orang-orang dhallin (orang-
orang yang sesat). Dalam tafsiran, dua kelompok
diatas disebutkan [1], bahwa orang-orang
mahgdhubi ‘alaihim adalah Yahudi, sedangkan
orang dhallin adalah Nashara.
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah,”Dan perbedaan
antara dua jalan -yaitu agar dijauhi jalan
keduanya-, karena jalan orang yang beriman
menggabungkan antara ilmu dan amal. Adalah
orang Yahudi kehilangan amal, sedangkan orang
Nashrani kehilangan ilmu. Oleh karenanya, orang
Yahudi memperoleh kemurkaan dan orang
Nashrani memperoleh kesesatan. Barangsiapa
mengetahui, kemudian tidak mengamalkannya,
layak mendapat kemurkaan. Berbeda dengan
orang yang tidak mengetahui. Orang-orang
Nashrani, ketika mempunyai maksud tertentu,
tetapi mereka tidak memperoleh jalannya, karena
mereka tidak masuk sesuai dengan pintunya.
Yaitu mengikuti kebenaran. Maka, jatuhlah mereka
ke dalam kesesatan. ”[2]
Banyak orang yang menyangka, bahwa banyak
amal dan ibadah sudah mendapat jaminan untuk
hari akhiratnya, sekurang-kurangnya merupakan
tanda kebenaran dan bukti keshalihan. Begitulah
sering kita dengar, dan itulah fenomena yang
terjadi di kalangan kaum muslimin. Kalaulah kita
mencoba untuk mengingat surat yang telah
sering kita dengar ini, maka semua sangkaan dan
dugaan kita selama ini, akan bisa kita ubah untuk
hari besoknya. Dapat dibayangkan, seseorang
yang mempunyai amalan sebanyak pepasiran di
pantai, akan tetapi setelah ditimbang, dia bagaikan
debu yang beterbangan, Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman,
ﻭﻗﺪﻣﻨﺎ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻋﻤﻠﻮﺍ ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﻓﺠﻌﻠﻨﺎﻩ ﻫﺒﺎﺀ
ﻣﻨﺜﻮﺭﺍ
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka
kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan)
debu yang berterbangan. [Al Furqan:23].
Bukan saja amalannya tidak dianggap sebagai
amalan yang diterima, bahkan dialah penyebab
masuknya ke dalam api neraka. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman,
ﻫﻞ ﺃﺗﺎﻙ ﺣﺪﻳﺚ ﺍﻟﻐﺎﺷﻴﺔ ﻭﺟﻮﻩ ﻳﻮﻣﺌﺬ ﺧﺎﺷﻌﺔ
ﻋﺎﻣﻠﺔ ﻧﺎﺻﺒﺔ ﺗﺼﻠﻰ ﻧﺎﺭﺍ ﺣﺎﻣﻴﺔ
Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari
pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk
terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki
api yang sangat panas (neraka). [Al Ghasyiah:1-
4].
Berkata Ibnu Abbas,”Khusyu`, akan tetapi tidak
bermanfaat amalannya,” diterangkan oleh Ibnu
Katsir, yaitu dia telah beramal banyak dan
berletih-letih, akan tetapi yang diperolehnya
neraka yang apinya yang sangat panas [3]. Oleh
sebab itu, Imam Bukhari membuat bab di dalam
kitab Shahih Beliau, Bab: Berilmu sebelum
berucap dan beramal.”
KEUTAMAAN ILMU DALAM AL QURAN
Ayat yang menerangkan tentang keutamaan ilmu
dan celaan terhadap orang yang beramal tanpa
ilmu sangatlah banyak [4]. Allah Subhanahu wa
Ta'ala membedakan antara orang yang berilmu
dengan orang yang bodoh, bagaikan orang yang
melihat dengan si buta.
ﺃﻓﻤﻦ ﻳﻌﻠﻢ ﺃﻧﻤﺎ ﺃﻧﺰﻝ ﺇﻟﻴﻚ ﻣﻦ ﺭﺑﻚ ﺍﻟﺤﻖ ﻛﻤﻦ
ﻫﻮ ﺃﻋﻤﻰ
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa
yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu
benar sama dengan orang yang buta? [Ar
Ra`ad:19].
Bahkan tidak sekedar buta, akan tetapi juga tuli
dan bisu .
Di berbagai tempat dalam Al Qur’an Allah l
mencela orang-orang yang bodoh, yaitu:
ﻭﻟﻜﻦ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻟﺎ ﻳﻌﻠﻤﻮﻥ
Akan tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. [Al Araf:187].
ﻭﺃﻛﺜﺮﻫﻢ ﻟﺎ ﻳﻌﻘﻠﻮﻥ
Dan kebanyakan mereka tidak berakal. [Al
Maidah:103].
Bahkan mereka disamakan dengan binatang, dan
lebih dungu daripada binatang:
ﺇﻥ ﺷﺮ ﺍﻟﺪﻭﺍﺏ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺼﻢ ﺍﻟﺒﻜﻢ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻟﺎ
ﻳﻌﻘﻠﻮﻥ
Sesungguhnya binatang (makhluk) yang
seburuk-buruknya pada sisi Allah, ialah orang-
orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti
apa-apa. [Al Anfal: 22].
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan,
bahwa orang-orang bodoh lebih buruk dari
binatang dengan segala bentuk dan macamnya.
Dimulai dari keledai, anjing, serangga, dan
mereka lebih buruk dari binatang-bintang
tersebut. Tidak ada yang lebih berbahaya
terhadap agama para rasul dari mereka, bahkan
merekalah musuh agama yang sebenarnya.
Lebih dari itu, bahwa syariat membolehkan
sesuatu yang pada asalnya haram, karena yang
satu berilmu dan yang satu lagi tidak berilmu.
Yaitu dihalalkannya memakan daging hasil buruan
anjing yang diajarkan berburu, berbeda dengan
anjing biasa yang menangkap mangsanya.
ﻳﺴﺄﻟﻮﻧﻚ ﻣﺎﺫﺍ ﺃﺣﻞ ﻟﻬﻢ ﻗﻞ ﺃﺣﻞ ﻟﻜﻢ ﺍﻟﻄﻴﺒﺎﺕ
ﻭﻣﺎ ﻋﻠﻤﺘﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻮﺍﺭﺡ ﻣﻜﻠﺒﻴﻦ ﺗﻌﻠﻤﻮﻧﻬﻦ ﻣﻤﺎ
ﻋﻠﻤﻜﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻜﻠﻮﺍ ﻣﻤﺎ ﺃﻣﺴﻜﻦ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻭﺍﺫﻛﺮﻭﺍ
ﺍﺳﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺍﺗﻘﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺮﻳﻊ
ﺍﻟﺤﺴﺎﺏ
Mereka menanyakan kepadamu,"Apakah yang
dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah,"Dihalalkan
bagimu yang baik-baik dan (buruan yang
ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu
ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu
mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan
Allah kepadamu. Maka, makanlah dari apa yang
ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah
atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat cepat hisabNya." [Al Maidah:4] [5]
Sedangkan sunnah dan atsar Salaf sangat banyak
sekali yang menerangkan permasalahan ini.
Setelah ini semua, ketika seorang muslim
mengarahkan pandangannya kepada jamaah-
jamaah yang menisbatkan diri kepada Islam,
maka didapatkan bahwa dakwah mereka
bermuara kepada suatu persamaan. Yaitu tidak
mempedulikan ilmu syariat dan tenggelam ke
dalam lumpur kebodohan. Inilah yang
menyebabkan banyaknya terjadi penyelewengan
terhadap pemahaman Islam.
Ini sebelum mereka, satu kelompok yang disebut
Khawarij, sampai-sampai Nabi menyebutkan,
bahwa amalan para sahabatnya jika dibandingkan
dengan amalan mereka tidak ada apa-apanya.
Shalat mereka, jika dibandingkan shalat kita tidak
apa-apanya. Mereka orang-orang yang ahli
ibadah. Siang harinya bagaikan singa yang
bertempur, dan pada malam harinya bagaikan
rahib ... Akan tetapi, apa akhir dari cerita mereka?
Nabi telah mengabarkan kepada kita, bahwa Islam
mereka hanya sebatas kerongkongan saja ...
Mereka keluar dari Islam, sebagaimana keluarnya
anak panah dari buruannya; mereka dikatakan
anjing-anjing neraka. Barangsiapa yang berhasil
membunuh mereka, akan mendapat ganjaran di
sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berazam, jika
Beliau bertemu dengan zaman mereka, maka
Beliau akan memeranginya, sebagaimana
diperanginya kaum `Ad ...
Pada masa sekarang, tumbuh berkembang suatu
jamaah. Yaitu jamaah yang didirikan di atas
bid`ah dan khurafat, dan syirik. Didirikan dengan
aqidah As`ariyyah Maturidiyyah. Membaiat para
pengikutnya dengan empat tharikat tasawuf:
Jistiyyah, Qadiriyyah, Sahruwardiyyah dan
thariqat Naqsyabandiyyah.
Sedangkan pada masalah aqidah dan tauhid.
Mereka tidak lebih mengerti tentang tauhid bila
dibandingakan dengan orang-orang musyrik
Arab pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Mereka hanya mengakui tauhid
Rububiyyah dengan tafsiran syahadat tauhid
tersebut. Dan tidak mengetahui tentang apa yang
dimaksud dengan tauhid Uluhiyyah. Adapun
pada tauhid Asma` wa Shifat, maka mereka
berada diantara aqidah Asyariyyah dan
Maturidiyyah. Sebagaimana diketahui, bahwa
kedua mazhab tersebut terkhusus dalam tauhid
ini, telah melenceng dari mazhab Ahlus Sunnah
wal Jamaah.
Adapun tentang ibadah dan suluk mereka; maka
mereka dibaiat dengan empat thariqat dan
mengamalkan dzikir-dzikir serta shalawat yang
dipenuhi bid`ah dan khurafat. Seperti membaca
(la ilaha) empat ratus kali, dan (Allah, Allah) enam
ratus kali setiap hari. Buku shalawat yang sering
dibaca oleh mereka, ialah kitab shalawat yang
masyhur bid`ah dan ghuluw kepada Nabi. Yaitu
kitab Dala-ilul Khairat, Burdah.
Adapun kitab yang paling berarti bagi mereka,
apa yang disebut dengan Tablighi Nishab.
Dikarang oleh salah seorang pendiri mereka. Kitab
ini nyaris dimiliki dan dibaca oleh setiap jamaah,
melebihi membaca kitab Shahih Bukhari. Kitab ini
dipenuhi dengan khurafat, syirik, bid`ah, dan
hadits-hadist palsu, serta hadist-hadist lemah.
Begitu juga dengan kitab Hayat Ash Shahabah,
yang dinamalkan mereka, dipenuhi dengan
khurafat serta kisah-kisah yang tidak benar, dan
begitu seterusnya ...
Kesimpulan tentang jama’ah ini ialah, bahwa
mereka merupakan jama’ah yang tidak peduli
terhadap ilmu dan ulama, berdakwah di atas
kebodohan [6], dengan bukti hadist yang selalu
mereka dendangkan yaitu, “sampaikan dariku
sekalipun satu ayat”. Hadits ini sekalipun shahih,
akan tetapi yang tidak shahih ialah cara
pemahaman mereka terhadap hadits ini. Setiap
orang yang masuk ke jemaah ini sudah layak
menjadi juru dakwah dari rumah ke rumah yaitu
untuk mengajak kepada jemaah mereka dengan
alasan hadist di atas. Atau mereka membaca
buku fadhilah di masjid ...dan mereka
permisalkan bahwa umat Islam sekarang
bagaikan (orang yang sedang tenggelam yang
harus diselamatkan). Tidak tahu mereka bahwa
belajar berenang tidak bisa dalam satu hari atau
dua, sehingga dia dapat menyelamatkan yang
mau tenggelam tadi, atau malah yang awalnya
hendak menolong karena tidak bisa berenang
sama-sama tenggelam kedalam lautan dosa dan
kesalahan.
Bukankah pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam, ketika salah seorang sahabat terluka,
kemudian junub ketika musim dingin, dan dia
bertanya kepada salah seorang diantara mereka.
Apakah ada rukhsah untuk tidak mandi? Yang
ditanya menjawab: tidak! Maka, mandilah sahabat
tadi yang menyebabkannya meninggal. Ketika
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar
cerita ini, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam marah
besar, dan berkata,”Sungguh kalian telah
membunuhnya. Semoga kalian diberi balasan
oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mengapa kalian
tidak bertanya jika tidak mengetahui? Karena obat
dari tidak tahu ialah bertanya.”
Yang lebih menarik untuk mengkaji jama’ah ini
ialah, karena mereka jama’ah bunglon. Berubah
setiap hinggap, dan bertukar warna sesuai
dengan lingkungannya. Apakah mereka ini tidak
mempunyai pendirian yang kuat dan tidak
mempunyai pondasi yang kokoh? Ataukah
demikian metode dakwah mereka, yaitu
mengumpulkan semua warna dan kelompok di
bawah naungan kelompok mereka?
Oleh sebab itu, jama’ah ini yang berada di tempat
pembaca, berbeda dengan mereka yang berada
di tempat penulis. Bisa saja, di satu tempat
mereka mempelajari suatu pelajaran yang benar
bukan karena ajaran tersebut, akan tetapi karena
lingkungan yang membuatnya terpaksa
memulainya dari sana. Dan bisa saja sebaliknya,
menjadi pembawa bendera bid`ah serta sebagai
penyebarnya.
Jama’ah ini paling mudah terpengaruh oleh
suasana, karena permasalahan tadi. Yaitu, mereka
tidak dididik di atas ilmu yang shahih. Maka, anda
akan melihat mereka bagaikan baling-baling di
atas bukit. Bak sebuah bulu ayam di padang
pasir, mengikuti apa yang dikehendaki oleh angin.
Kalaulah mereka tidak diikat dengan pertemuan-
pertemuan di masjid-masjid dan tamasya-
tamasya ke negeri-negeri kesayangan mereka -
sekalipun negeri tersebut adalah tempat sarang
berhala terbanyak di dunia-, maka penulis yakin,
mereka akan berantakan. Dan jama’ah mereka
akan terpengaruh oleh jama’ah lain, atau kembali
kepada kepada asal mereka.
Mungkin ada terbetik pertanyaan. Bukankah
keberhasilan mereka mengeluarkan orang-orang
dari tempat-tempat maksiat, dan membuatnya
bertaubat ini sebagai salah satu dari kebaikan dan
kesuksesan jama’ah ini dalam berdakwah?!
Maka, kita perhatikan jawaban Syaikh Aman Ali Al
Jami rahimahullah, ketika Beliau menjawab
tentang sebagian dakwah moderen yang
mempunyai persamaan dakwah dengan
permasalahan di atas:
... Benar, ia telah mengeluarkan orang-orang dari
tempat-tempat diskotik dan bioskop. Ini tidak ada
yang mengingkarinya. Akan tetapi, setelah ia
mengeluarkan mereka dari tempat-tempat
tersebut, apa yang dilakukannya? Apakah
kemudian mendakwahi mereka dengan dakwah,
dan dengan metode para anbia` (nabi)? Atau
sebaliknya, mengajarkan mereka dan
mengumpulkannya, sehingga mereka terpecah-
pecah ke dalam berbagai macam thariqat
tasawuf? Benar ... Akan tetapi, ia telah
mengeluarkan mereka dari jahiliyah kepada
jahiliyah. “
Dia tidak memindahkan mereka kepada
pemahaman yang benar tentang Islam. Buktinya,
ia sendiri menganut salah satu thariqat shufi.
Adapun orang-orang yang telah dikeluarkannya
dari tempat-tempat diskotik itu, kalau tidak
mengambil thariqat yang dianut olehnya, tentu
mengambil thariqat tasawwuf lainnya. Dan
apakah dakwahnya juga membasmi peribadatan
kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang
secara jelas nampak ada di negerinya? Apakah dia
telah mengeluarkan manusia dari thawaf di
sekeliling kuburan, seperti kuburan Husain, Zainab
dan Badawi?! Apakah dia telah mengeluarkan
manusia dari berhukum dengan hukum
demokrasi kepada berhukum dengan hukum
Allah? Inilah yang seharusnya dilakukannya. Jika
begini dakwahnya, tentu dakwah yang
dibawanya merupakan dakwah yang benar. Akan
tetapi sebagaimana kata syair:
ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺭﺏ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺑﺎﻟﺪﻑ ﺿﺎﺭﺑﺎ
ﻓﺸﻴﻤﺔ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﻛﻠﻬﻢ ﺍﻟﺮﻗﺺ
Jika seandainya tuan rumah berdendang dengan
rebana
Tentu semua yang di rumah menari kegemaran
mereka
Jika tidak sampai kepadanya ilmu dan makrifah
tentang Islam yang benar, bagaimana mungkin ia
akan meninggalkan kuburan-kuburan tersebut
dan memerangi orang yang thawaf
disekelilingnya. Apa yang dapat dilakukannya
terhadap orang-orang yang jatuh ke dalam
maksiat tersebut? [7]
Terakhir. Marilah menuntut ilmu, wahai para
pemuda. Sesungguhnya dialah pintu kejayaan
dan keselamatan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun
VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Dari hadits Nabi yang diriwayatkan oleh `Adi
bin Hatim dan Abu Dzar serta yang lainnya.
Dikeluarkan oleh Abu Dawud , Thayalisi di
Musnadnya, dan Tirmidzi di Jami`nya. Lihat Ibnu
Katsir, Tafsir Qur’anil `Adhim, 1/28, Maktabah
`Ulum Wal Hikam, Madinah, 1993 dan Al
Qurthubi, Al Jami` Li Ahkamil Qur`an, 1/104,
Darul Kutub `Ilmiah, Beirut, 1993.
[2]. Ibnu Katsir, Ibid.
[3]. Ibnu Katsir, Ibid. hal. 4/503.
[4]. Ibnul Qayyim menyebutkan permasalahan ini
dalam kitab Beliau yang masyhur, Miftah Darus
Sa`adah. Cobalah untuk menelaahnya. Sungguh
untuk memperolehnya, para ulama kita berjalan
kaki yang tidak sanggup ditempuh oleh kuda.
[5]. Lihat Miftah Darus Sa`adah, hal. 1/48-126,
Darul Fikri, Beirut.
[6]. Lihat Kitab Al Qaulul Baligh …, Syaikh Hamud
Al Tuwaijiri, hal. 7-18, Dar As Shuma`I, Riyadh,
Cet. II/ 1997.
[7]. Dari kaset 27 Sualan Haula Ad Dakwah As
Salafiah (Duapuluh Tujuh Permasalahan Seputar
Dakwah Salafiah).

No comments:

Post a Comment