02 May 2011

Bermula Dari Pengkafiran, AkhirnyaPeledakan



BERMULA DARI PENGKAFIRAN, AKHIRNYA
PELEDAKAN
________________________________________________________________________
PENGANTAR
Takfir atau mengkafirkan orang lain tanpa bukti
yang dibenarkan oleh syari’at merupakan sikap
ekstrim, dan akan selalu memicu persoalan, yang
ujung-ujungnya ialah tertumpahnya darah kaum
muslimin secara semena-mena. Berawal dari
takfir dan berakhir dengan tafjir (peledakan).
Makalah berikut ini diterjemahkan dari sebuah
booklet yang dikeluarkan oleh Markaz Al Imam Al
Albani, Yordania, tentang Bayan Hai’ah Kibar Al
Ulama Fi Dzammi Al Ghuluwwi Fi At Takfir
(Penjelasan Lembaga Perkumpulan Ulama Besar
Saudi Arabia tentang celaan terhadap sikap
ghuluw –ekstrim- dalam mengkafirkan orang
lain).
Lembaga ini diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin
Abdillah bin Baz rahimahullah. Kemudian
penjelasan Lembaga tersebut disajikan ulang dan
diberi catatan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin
Abdul Hamid Al Halabi Al Atsari. Selamat
menyimak.
________________________________________________________________________
ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ
ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺭﺏ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ ، ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ
ﺃﺷﺮﻑ ﺍﻟﻤﺮﺳﻠﻴﻦ، ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﺃﺟﻤﻌﻴﻦ، ﻭﻻ
ﻋﺪﻭﺍﻥ ﺇﻻ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻈﺎﻟﻤﻴﻦ، ﺃﻣﺎ ﺑﻌﺪ :
Berikut ini adalah sebuah penjelasan ilmiah yang
akurat. Di dalamnya terdapat kupasan yang jeli
dan teliti. Mengukuhkan masalah yang teramat
penting, bermanfaat bagi sekalian umat dan dapat
menolak fitnah yang gelap gulita.
(Atas dasar itu), saya memandang perlu dan
penting untuk menyebar luaskannya, sebagai
nasihat dan sebagai amanat. Hal itu disebabkan
oleh dua alasan:
Pertama : Karena banyak orang yang tidak
mengetahuinya dan tidak memahaminya.
Sedangkan yang mengetahuinya, tidak mau
menyebar luaskannya, [1] dan enggan
menunjukkannya –kecuali yang mendapat
rahmat Allah-.
Kedua : (Juga) karena di dalam penjelasan itu
terdapat (usaha telaah) untuk membongkar
rahasia keadaan sebagian orang ghuluw yang
ekstrim. Yaitu orang-orang yang karena
kebodohannya telah membuat citra agama
menjadi buruk, dan karena penyimpangannya
telah merusak kaum muslimin secara umum.
Padahal Islam –alhamdulillah- jauh lebih tinggi
dan lebih agung. Islam lebih memberikan
bimbingan dan petunjuk kepada kebenaran.
Hanya kepada Allah aku memohon, agar Dia
menjadikan penjelasan [2] ini bermanfaat bagi
orang-orang pada umumnya, maupun secara
khusus bagi orang-orang tertentu. Dia-lah Allah
Subhanahu wa Ta'ala yang berfirman :
ﻭﺍﺗﻘﻮﺍ ﻓﺘﻨﺔ ﻟﺎ ﺗﺼﻴﺒﻦ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻇﻠﻤﻮﺍ ﻣﻨﻜﻢ
Takutlah kamu akan suatu fitnah yang tidak hanya
menimpa orang-orang zhalim saja di antara
kamu [Al Anfal : 25].
Akhir do’a kami ialah, Alhamdulillahi Rabbil
‘Alamin.
(Demikian pengantar dari Syaikh Ali bin Hasan Al
Halabi, Red.).
PENJELASAN HAI’AH KIBAR AL ULAMA
Lembaga Perkumpulan Tokoh-tokoh Ulama Saudi
Arabia [3]

ﺍﻟﺤﻤﺪﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻋﻠﻰ
ﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﻣﻦ ﺍﻫﺘﺪﻯ ﺑﻬﺪﺍﻩ. ﺃﻣﺎ ﺑﻌﺪ :
Sesungguhnya Majelis Hai’ah Kibar Al Ulama,
pada pertemuannya yang ke-49 di Thaif, yang
dimulai pada tanggal 2/4/1419 H [4] telah
mengkaji apa yang kini berlangsung di banyak
negeri Islam dan negeri-negeri lain, tentang takfir
(penetapan hukum kafir terhadap seseorang) dan
tafjir (peledakan) serta konsekwensi yang
diakibatkannya, berupa penumpahan darah dan
perusakan fasilitas-fasilitas umum.
Karena berbahayanya persoalan ini, begitu pula
akibat yang ditimbulkannya, berupa melenyapkan
nyawa orang-orang yang tidak bersalah,
perusakan harta benda yang mestinya terpelihara,
menimbulkan rasa takut bagi banyak orang dan
menimbulkan keresahan bagi keamanan serta
ketenteraman orang banyak, maka majelis Hai’ah
memandang perlu untuk menerbitkan penjelasan
ini, guna menerangkan hukum sebenarnya dari
persoalan tersebut. Sebagai nasihat bagi Allah,
bagi hamba-hambaNya dan sebagai pelepas
tanggung jawab di hadapan Allah, serta sebagai
upaya menghilangkan kerancuan pemahaman di
kalangan orang-orang yang kacau
pemahamannya.
Maka dengan –taufiq Allah- kami katakan:
PERTAMA
Takfir (menetapkan hukum kafir atau
mengkafirkan) merupakan hukum syar’i. Tempat
kembalinya adalah Allah dan RasulNya Shallallahu
'alaihi wa sallam. Seperti halnya penetapan
hukum halal dan haram, kembalinya kepada Allah
dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam ; begitu
pula penetapan hukum kafir.
Tidak setiap perkataan atau perbuatan yang
disebut kufur, berarti kufur akbar yang
mengeluarkan (pelakunya) dari agama. [5]
Karena sumber penetapan hukum pengkafiran
kembalinya kepada Allah dan RasulNya, maka kita
tidak boleh mengkafirkan seseorang, kecuali jika
Al Qur’an dan Sunnah telah membuktikan
kekafirannya dengan bukti yang jelas. Maka
(mengkafirkan orang) tidak cukup hanya
berdasarkan syubhat dan dugaan-dugaan saja,
sebab akan berakibat pada konsekwensi hukum-
hukum yang berbahaya.
Apabila hukum hudud (pidana) saja dapat
terhapus dengan adanya syubhat (ketidak jelasan
bukti) -padahal konsekwensinya lebih ringan
daripada takfir-, apalagi masalah pengkafiran
orang, tentu lebih dapat terhapuskan lagi dengan
adanya syubhat (ketidak jelasan bukti).
Itulah sebabnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
memperingatkan umatnya agar jangan sampai
menghukumi kafir kepada seseorang yang tidak
kafir. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
ﺃﻳﻤﺎ ﺍﻣﺮﺉ ﻗﺎﻝ ﻷﺧﻴﻪ : ﻳﺎ ﻛﺎﻓﺮ، ﻓﻘﺪ ﺑﺎﺀ ﺑﻬﺎ
ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ. ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﻭﺇﻻ ﺭﺟﻌﺖ ﻋﻠﻴﻪ
Siapapun orangnya yang mengatakan kepada
saudaranya “Hai Kafir”, maka perkataan itu akan
mengenai salah satu diantara keduanya. Jika
perkataannya benar, (maka benar). Tetapi jika
tidak, maka tuduhan itu akan kembali kepada diri
orang yang mengatakannya. [Muttafaq ‘alaih, dari
Ibnu Umar].
Kadang di dalam Al Qur’an dan Sunnah terdapat
nash yang dapat difahami darinya, bahwa
perkataan ini, perbuatan itu atau keyakinan itu
adalah kufur, tetapi orang yang melakukannya
tidak kafir, disebabkan adanya penghalang yang
menghalangi kekafirannya.
Hukum pengkafiran ini, sama seperti hukum-
hukum lainnya. Yaitu tidak akan terjadi, kecuali
jika sebab-sebab serta syarat-syaratnya ada [6]
dan penghalang-penghalangnya tidak ada.
Umpamanya dalam masalah waris. Sebabnya
(misalnya) adalah adanya hubungan kerabat.
Kadang-kadang seseorang (yang mempunyai
hubungan kerabat) tidak bisa mewarisi
disebabkan oleh adanya penghalang, yaitu
perbedaan agama. Begitu pula masalah kekafiran.
Seorang mukmin dipaksa melakukan perbuatan
kufur –misalnya-, maka ia tidak kafir karenanya.
Kadang seorang muslim mengucapkan kalimat
kufur disebabkan oleh kesalahan lidah karena
sangat gembiranya, atau sangat marahnya atau
karena sebab-sebab lainnya. Iapun tidak kafir
karenanya. Sebab ia tidak sengaja
mengucapkannya. Seperti kisah orang yang
mengatakan : “Ya Allah, Engkau adalah hambaku
dan aku adalah TuhanMu”. (Dia tidak kafir, Red).
Dia salah mengucapkan kalimat itu karena sangat
gembiranya (menemukan kembali ontanya yang
hilang ditengah kesendiriannya, Red). [7] [Hadits
shahih Riwayat Muslim, dari sahabat Anas bin
Malik]
Tergesa-gesa menghukumi kafir terhadap
seseorang akan mengakibatkan banyak perkara
yang berbahaya. Di antaranya menghalalkan
darah dan harta Muslim, dilarangannya saling
mewarisi, pembatalan pernikahan dan lain-lainnya
yang merupakan konsekwensi hukum orang
murtad.
Jadi bagaimana mungkin seorang mukmin boleh
lancang menetapkan hukum kafir hanya
berdasarkan syubhat yang sangat sederhana
sekalipun?
Dan apabila ternyata (tuduhan kafir, Red) ini
ditujukan kepada para penguasa [8] maka
persoalannya jelas lebih parah lagi. Sebab
akibatnya akan menimbulkan sikap
pembangkangan terhadap penguasa, angkat
senjata melawan mereka, menebarkan issu
kekacauan, mengalirkan darah dan membuat
kerusakan terhadap manusia dan negara.
Karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
melarang penentangan kepada penguasa. Beliau
bersabda :
... ﺇﻻ ﺃﻥ ﺗﺮﻭﺍ ﻛﻔﺮﺍ ﺑﻮﺍﺣﺎ، ﻋﻨﺪﻛﻢ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ
ﺑﺮﻫﺎﻥ
……kecuali bila kalian lihat kekafiran yang nyata
(bawaah), yang tentanginya kalian memiliki bukti
yang jelas dari Allah. [Muttafaq ‘alaih, dari
‘Ubadah].
• Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : ﺇﻻ ﺃﻥ
ﺗﺮﻭﺍ (kecuali jika kalian lihat), memberikan
pengertian bahwa tidak cukup (pengkafiran, Red)
hanya berdasarkan dugaan dan issu.
• Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : ﻛﻔﺮﺍ
(kekafiran), memberikan pengertian bahwa tidak
cukup (penentangan terhadap penguasa, Red)
hanya karena fasiknya penguasa, walaupun
kefasikannya besar seperti zhalim, meminum
khamr, berjudi dan dominan berbuat perkara
haram.
• Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : ﺑﻮﺍﺣﺎ
(nyata), memberikan pengertian bahwa tidaklah
cukup kekafiran yang tidak nyata. Arti bawaah
ialah jelas dan nyata.
• Sabda beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam :
ﻋﻨﺪﻛﻢ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺮﻫﺎﻥ (kalian memiliki bukti
jelas mengenai kekafiran yang nyata itu dari
Allah). Ini memberikan pengertian bahwa
pengkafiran harus berdasarkan dalil yang sharih
(jelas dan terang). Dalil itu harus shahih adanya
dan sharih (jelas dan terang) pembuktiannya.
Sehingga tidak cukup bila dalil itu lemah sanadnya
atau tidak tegas pembuktiannya.
• Kemudian sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam : ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ (dari Allah), memberikan
pengertian bahwa perkataan ulama manapun
(dalam pengkafiran, Red) tidak bisa dianggap,
meski betapapun tinggi ilmu dan sikap
amanahnya, apabila perkataannya tidak
berdasarkan dalil yang sharih (nyata dan terang)
pembuktiannya dan shahih berasal dari Kitab
Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Ikatan-ikatan syarat dari Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam (dalam hadits) di atas
menunjukkan betapa gentingnya permasalahan
takfir (pengkafiran terhadap seseorang).
Kesimpulannya, tergesa-gesa menghukumi
seseorang sebagai kafir mempunyai bahaya yang
besar. Berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :
ﻗﻞ ﺇﻧﻤﺎ ﺣﺮﻡ ﺭﺑﻲ ﺍﻟﻔﻮﺍﺣﺶ ﻣﺎﻇﻬﺮ ﻣﻨﻬﺎ ﻭﻣﺎﺑﻄﻦ
ﻭﺍﻹﺛﻢ ﻭﺍﻟﺒﻐﻰ ﺑﻐﻴﺮ ﺍﻟﺤﻖ ﻭﺃﻥ ﺗﺸﺮﻛﻮﺍ ﺑﺎﻟﻠﻪ
ﻣﺎﻟﻢ ﻳﻨﺰﻝ ﺑﻪ ﺳﻠﻄﺎﻧﺎ ﻭﺃﻥ ﺗﻘﻮﻟﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻣﺎﻻﺗﻌﻠﻤﻮﻥ
Katakanlah : Sesungguhnya Rabbku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak atau yang tersembunyi, dan
(mengharamkan) perbuatan dosa, melanggar hak
manusia tanpa alasan yang benar, (juga
mengharamkan kalian) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu, dan (juga mengharamkan) kalian
mengadakan-adakan perkataan terhadap Allah
apa yang kalian tidak ketahui. [Al A’raf : 32].
KEDUA:
Apa yang timbul dari keyakinan salah ini? Yaitu
menghalalkan darah, perusakan kehormatan,
perampasan harta milik orang-orang tertentu atau
orang umum, peledakan tempat-tempat hunian
serta angkutan-angkutan umum dan perusakan
bangunan-bangunan.
Kegiatan-kegiatan ini dan yang semisalnya adalah
haram menurut syari’at berdasarkan
ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Sebab di
dalamnya terdapat perusakan terhadap
kehormatan jiwa-jiwa manusia yang terpelihara,
perusakan terhadap kehormatan harta benda,
perusakan terhadap kehormatan keamanan dan
ketenteraman. (Perusakan terhadap) hak hidup
orang banyak secara aman dan tenteram di
rumah-rumah mereka, di tempat-tempat mata
pencaharian mereka, di saat keberangkatan
mereka pada pagi hari dan di saat kepulangan
mereka pada sore hari. Juga perusakan terhadap
kepentingan-kepentingan umum yang selalu
dibutuhkan oleh orang banyak dalam kehidupan
mereka.
Padahal Islam telah memberikan pemeliharaan
kepada kaum muslimin berkaitan dengan harta
benda, kehormatan dan jiwa raga mereka. Islam
mengharamkan perusakan terhadap semua ini
dan sangat menekankan pengharamannya.
Bahkan di antara hal terakhir yang disampaikan
oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
umatnya ialah sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam pada haji wada’ :
ﺇﻥ ﺩﻣﺎﺀﻛﻢ ﻭﺃﻣﻮﺍﻟﻜﻢ ﻭﺃﻋﺮﺍﺿﻜﻢ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺣﺮﺍﻡ
ﻛﺤﺮﻣﺔ ﻳﻮﻣﻜﻢ ﻫﺬﺍ ، ﻓﻲ ﺷﻬﺮﻛﻢ ﻫﺬﺍ، ﻓﻲ ﺑﻠﺪﻛﻢ
ﻫﺬﺍ
Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta
benda kalian dan kehormatan-kehormatan kalian
adalah haram atas kalian, seperti haram
(mulia)nya hari kalian (hari haji wada’) ini, di bulan
kalian ini dan di negeri (tanah haram) kalian ini.
ِAkhirnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menutup sabdanya :
ﺃﻻ ﻫﻞ ﺑﻠﻐﺖ؟ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻓﺎﺷﻬﺪ
Ketahuilah, adakah aku telah menyampaikan? Ya
Allah saksikanlah. [Muttafaq ‘alaih, dari Abi
Bakrah].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga
bersabda :
ﻛﻞ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺣﺮﺍﻡ : ﺩﻣﻪ، ﻭﻣﺎﻟﻪ ،
ﻭﻋﺮﺿﻪ
Setiap muslim bagi muslim lainnya adalah
haram : darahnya, hartanya dan kehormatannya.
[HR Muslim, dari Abu Hurairah].
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda pula :
ﺍﺗﻘﻮﺍ ﺍﻟﻈﻠﻢ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻈﻠﻢ ﻇﻠﻤﺎﺕ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ
Takutlah kalian akan kezhaliman, sesungguhnya
kezhaliman itu adalah kegelapan-kegelapan pada
hari kiamat. [HR Muslim, dari Jabir].
Sesungguhnya Allah telah memberikan ancaman
sangat keras terhadap orang yang membunuh
seseorang yang terpelihara jiwanya.
Berkenaan dengan jiwa seorang mukmin, Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
ﻭﻣﻦ ﻳﻘﺘﻞ ﻣﺆﻣﻨﺎ ﻣﺘﻌﻤﺪﺍ ﻓﺠﺰﺁﺅﻩ ﺟﻬﻨﻢ ﺧﺎﻟﺪﺍ
ﻓﻴﻬﺎ ﻭﻏﻀﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻟﻌﻨﻪ ﻭﺃﻋﺪ ﻟﻪ ﻋﺬﺍﺑﺎ
ﻋﻈﻴﻤﺎ
Dan barangsiapa yang membunuh seorang
mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah
Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan
adzab yang besar baginya. [An Nisa’ : 93].
Kemudian berkenaan dengan jiwa orang kafir
yang berada dalam jaminan keamanan kaum
muslimin, jika dibunuh secara tidak sengaja, Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﻗﻮﻡ ﺑﻴﻨﻜﻢ ﻭﺑﻴﻨﻬﻢ ﻣﻴﺜﺎﻕ ﻓﺪﻳﺔ
ﻣﺴﻠﻤﺔ ﺇﻟﻰ ﺃﻫﻠﻪ ﻭﺗﺤﺮﻳﺮ ﺭﻗﺒﺔ ﻣﺆﻣﻨﺔ ﻓﻤﻦ ﻟﻢ
ﻳﺠﺪ ﻓﺼﻴﺎﻡ ﺷﻬﺮﻳﻦ ﻣﺘﺘﺎﺑﻌﻴﻦ ﺗﻮﺑﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ
ﻭﻛﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻤﺎ ﺣﻜﻴﻤﺎ
Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum kafir yang ada
perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu,
maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat
(ganti rugi) yang diserahkan kepada keluarganya
(si terbunuh), serta memerdekakan hamba
sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak
memiliki hamba sahaya, maka hendaklah ia (si
pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut
sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [An
Nisa’:92].
Apabila orang kafir yang memiliki jaminan
keamanan dari kaum muslimin dibunuh secara
tidak sengaja saja harus ada pembayaran diat
(ganti rugi) dan memerdekakan hamba sahaya
oleh si pembunuh, maka apalagi jika ia dibunuh
secara sengaja. Jelas kejahatannya lebih berat dan
dosanya lebih besar.
Dan sesungguhnyalah terdapat riwayat shahih
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa
beliau bersabda :
ﻣﻦ ﻗﺘﻞ ﻣﻌﺎﻫﺪﺍ : ﻟﻢ ﻳﺮﺡ ﺭﺍﺋﺤﺔ ﺍﻟﺠﻨﺔ
Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang
berada dalam perjanjian (damai), maka ia tidak
akan mencium baunya sorga. [Muttafaq ‘alaih,
dari Abdullah bin Amr].
KETIGA:
Sesungguhnya jika sebuah majelis menyatakan
ketetapan hukum kafir terhadap manusia –tanpa
bukti dari Kitab Allah dan Sunnah Rasululah
Shallallahu 'alaihi wa sallam serta tanpa
menyebutkan bahayanya penyebutan hukum itu
karena mengandung akibat buruk dan dosa,
berarti majelis tersebut tengah mengumumkan
kepada dunia, bahwa Islam berlepas diri dari
keyakinan yang salah ini. Begitu pula apa yang
tengah berlangsung di berbagai negeri berupa
penumpahan darah orang yang tidak bersalah,
peledakan tempat-tempat hunian, kendaraan-
kendaraan, fasilitas-fasilitas umum maupun
khusus, serta perusakan bangunan-bangunan,
semua itu merupakan tindakan kriminal. Islam
berlepas diri dari tindakan semacam itu.
Demikian juga setiap muslim yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat-pun berlepas diri
dari tindakan seperti itu. Tindakan-tindakan
tersebut tidak lain hanyalah tindakan orang yang
mempunyai pemikiran menyimpang dan aqidah
sesat. Dia sendirilah yang memikul dosa dan
kejahatannya. Tindakannya itu tidak bisa
dibebankan kepada Islam dan tidak pula kepada
kaum muslimin yang berpegang pada petunjuk
Islam, berpegang teguh pada Al Qur’an dan
Sunnah dan berpegang teguh pada tali Allah yang
kokoh.
Tindakan-tindakan tersebut murni merupakan
perusakan dan kejahatan. Syari’at serta fitrah
menolaknya. Oleh karenanyalah, nash-nash
syari’at telah datang untuk mengharamkannya
dan memperingatkan agar tidak mempergauli
para pelaku tindakan demikian.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﻳﻌﺠﺒﻚ ﻗﻮﻟﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ
ﻭﻳﺸﻬﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺎﻓﻲ ﻗﻠﺒﻪ ﻭﻫﻮ ﺃﻟﺪ ﺍﻟﺨﺼﺎﻡ.
ﻭﺇﺫﺍ ﺗﻮﻟﻰ ﺳﻌﻰ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﻟﻴﻔﺴﺪ ﻓﻴﻬﺎ ﻭﻳﻬﻠﻚ
ﺍﻟﺤﺮﺙ ﻭﺍﻟﻨﺴﻞ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﺤﺐ ﺍﻟﻔﺴﺎﺩ . ﻭﺇﺫﺍ ﻗﻴﻞ
ﻟﻪ ﺍﺗﻖ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﺧﺬﺗﻪ ﺍﻟﻌﺰﺓ ﺑﺎﻷﺛﻢ ﻓﺤﺴﺒﻪ ﺟﻬﻨﻢ
ﻭﻟﺒﺌﺲ ﺍﻟﻤﻬﺎﺩ
Dan di antara manusia ada yang ucapannya
tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan
dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi
hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling
keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia
berjalan di muka bumi untuk mengadakan
kerusakan padanya, dan merusak tanaman dan
binatang ternak. Dan Allah tidak menyukai
kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya:
“Bertaqwalah kepada Allah!”, bangkitlah
kesombongannya yang menyebabkannya
berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka
Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu
tempat tinggal yang seburuk-buruknya. [Al
Baqarah:204-206].
(Intinya) kewajiban seluruh kaum muslimin –di
manapun mereka berada- ialah saling ingat-
mengingatkan dalam hal kebenaran, saling
menasihati, saling tolong-menolong dalam hal
kebaikan dan ketaqwaan, amar ma’ruf nahi
munkar– dengan cara hikmah (bijaksana) serta
nasihat yang baik, dan memberikan bantahan
dengan cara yang lebih baik. Sebagaimana Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman :
ﻭﺗﻌﺎﻭﻧﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺒﺮ ﻭﺍﻟﺘﻘﻮﻯ ﻭﻻﺗﻌﺎﻭﻧﻮﺍ ﻋﻠﻰ
ﺍﻹﺛﻢ ﻭﺍﻟﻌﺪﻭﺍﻥ ﻭﺍﺗﻘﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺷﺪﻳﺪ
ﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebaikan dan ketaqwaan, dan
jangan tolong-menolonglah dalam berbuat dosa
dan permusuhan. Dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksaNya. [Al
Ma’idah:2].
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman :
ﻭﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻮﻥ ﻭﺍﻟﻤﺆﻣﻨﺎﺕ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺃﻭﻟﻴﺂﺀ ﺑﻌﺾ
ﻳﺄﻣﺮﻭﻥ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻭﻳﻨﻬﻮﻥ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮ ﻭﻳﻘﻴﻤﻮﻥ
ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﻳﺆﺗﻮﻥ ﺍﻟﺰﻛﺎﺓ ﻭﻳﻄﻴﻌﻮﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ
ﺃﻭﻻﺋﻚ ﺳﻴﺮﺣﻤﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰﻳﺰ ﺣﻜﻴﻢ
Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan
perempuan, sebagian mereka adalah menjadi
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf,
mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah
dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh
Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan
Maha Bijaksana. [At Taubah:71].
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ﻭﺍﻟﻌﺼﺮ ﺇﻥ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻟﻔﻲ ﺧﺴﺮ. ﺇﻻ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺀﺍﻣﻨﻮﺍ
ﻭﻋﻤﻠﻮﺍ ﺍﻟﺼﺎﻟﺤﺎﺕ ﻭﺗﻮﺍﺻﻮﺍ ﺑﺎﻟﺤﻖ ﻭﺗﻮﺍﺻﻮﺍ
ﺑﺎﻟﺼﺒﺮ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-
benar berada dalam kerugian, kecuali orang-
orang yang beriman, dan mengerjakan amal
shalih, dan nasihat-menasihati supaya mentaati
kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya
menetapi kesabaran. [Al Ashr : 1-3].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﻨﺼﻴﺤﺔ )ﺛﻼﺛﺎ.( َﻞﻴْﻗِ : ﻟﻤﻦ ﻳﺎﺭﺳﻮﻝ
ﺍﻟﻠﻪ ؟ ﻗﺎﻝ : ﻟﻠﻪ ﻭﻟﻜﺘﺎﺑﻪ ﻭﻟﺮﺳﻮﻟﻪ ﻭﻟﺄﺋﻤﺔ
ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻭﻋﺎﻣﺘﻬﻢ
“Agama adalah nasihat” (Rasulullah
mengatakannya tiga kali). Ditanyakan oleh
sahabat: “Bagi siapa, wahai Rasulullah?”. Beliau
menjawab,”Bagi Allah, bagi kitabNya, bagi
RasulNya, bagi para pemimpin umat Islam dan
bagi umumnya umat Islam.” [HR Muslim dari
Tamim Ad Dari. Imam Bukhari meriwayatkannya
secara mu’allaq dalam kitab Shahih-nya, tanpa
menyebutkan sahabat].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :
ﻣﺜﻞ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻓﻲ ﺗﻮﺍﺩﻫﻢ ﻭﺗﺮﺍﺣﻤﻬﻢ ﻭﺗﻌﺎﻃﻔﻬﻢ
ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺠﺴﺪ ﺇﺫﺍ ﺍﺷﺘﻜﻰ ﻣﻨﻪ ﻋﻀﻮ ﺗﺪﺍﻋﻰ ﻟﻪ ﺳﺎﺋﺮ
ﺍﻟﺠﺴﺪ ﺑﺎﻟﺴﻬﺮ ﻭﺍﻟﺤﻤﻰ
Perumpamaan kaum mukminin dalam
(hubungan) saling cinta, saling kasih sayang dan
saling lemah lembutnya, ibarat satu tubuh,
apabila salah satu anggauta tubuh mengeluh
karena sakit, maka seluruh anggauta tubuh
lainnya akan ikut tidak bisa tidur dan merasa
demam. [Muttafaq ‘alaih, dari An Nu’man bin
Basyir].
(Demikianlah), ayat-ayat serta hadits-hadits yang
semakna dengan ini banyak.
Akhirnya, kami memohon kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala –dengan nama-namaNya
yang husna dan dengan sifat-sifatNya yang
mulia- agar Dia mencegah seluruh kaum
muslimin dari kesengsaraan.
Kami memohon agar Allah l memberikan taufiq
kepada seluruh pemegang kendali kekuasaan
kaum muslimin untuk melakukan apa yang baik
bagi umat dan negara, serta melakukan
pemberantasan terhadap segala kerusakan serta
para perusaknya.
Kami memohon agar Allah memenangkan
agamaNya dan meninggikan kalimatNya melalui
para pemegang kendali kekuasaan itu. Juga agar
Allah memperbaiki keadaan seluruh umat Islam di
manapun mereka berada, serta memenangkan
kebenaran melalui mereka. Sesungguhnya Allah
adalah Pemilik semua itu dan Maha Kuasa untuk
melakukannya. Semoga Allah senantiasa
mencurahkan shalawat serta salamNya kepada
Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun
VII/1424H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Sebab banyak di antara persoalan itu yang
bagi sebagian orang hanya persoalan “mana
suka”. Jika sesuai dengan hawa nafsu, disebar
luaskan. Dan jika tidak sesuai, disembunyikan dan
ditimbun. Fatwa-fatwa ulama yang tidak sesuai
dengan hawa nafsu mereka, maka akan dikatakan
bahwa ulama yang berfatwa itu tidak mengerti
(bodoh terhadap) realitas, situasi dan kondisi, atau
dikatakan bahwa ulama itu terkontaminasi dengan
pemikiran Murji’ah. Demi Allah, ini merupakan
bencana besar
[2]. Penjelasan ini termasuk penjelasan dan fatwa
ilmiah dari Hai’ah Kibar Al Ulama yang paling akhir
di bawah kepemimpinan Syaikh Abdul Aziz bin
Baz rahimahullah. Penjelasan (fatwa) ini
dikeluarkan kurang dari sembilan bulan sebelum
wafat beliau. Dan penjelasan ini dimuat di majalah
Al Buhuts Al Islamiyah, Edisi 56 Safar 1420 H,
langsung setelah wafat beliau
[3]. Tentang penjelasan lembaga ini, saya (Syaikh
Ali Hasan) telah memberikan catatan dan
penjelasan pada sebuah risalah tersendiri yang
saya beri judul “Kalimatun Sawa’ Fi An Nushrati
Wa Ats Tsana’i ‘Ala Bayan Hai’ah Kibar Al Ulama,
Wa Fatwa Al Lajnah Da’imah Lil Ifta’ Fi Naqdhi
Ghuluwwi At Takfir Wa Dzammi Dhalalati Al Irja’.
Risalah ini sedang dicetak, alhamdulillah. Di
dalamnya digabungkan pula Fatwa Lajnah
Da’imah tentang celaan terhadap firqah Murji’ah
dan faham Murji’ah.
[4]. Wafatnya guru kami, Syaikh Al Imam Abdul
Aziz Bin Baz rahimahullah ialah pada tanggal
27/1/1420 H
[5]. Sesungguhnya, kufur terbagai menjadi dua.
Kufur asghar (kecil), tidak mengeluarkan
pelakunya dari Islam, dan kufur akbar (besar),
mengeluarkan pelakunya dari Islam. Kufur akbar
ini ada beberapa macam, yaitu: menghalalkan
(terhadap perkara yang jelas haramnya, Red.),
penolakan, pengingkaran, pendustaan (menolak
untuk percaya), munafik, dan ragu-ragu
(terhadap kebenaran yang sudah jelas, Red.).
Dalam hal ini ada beberapa sebab yang dapat
menjerumuskan ke dalam kufur akbar itu. Yaitu
sebab-sebab yang berupa perkataan, perbuatan
dan keyakinan.
[6]. Pada perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dalam Majmu’ Fatawa XIV/118 terdapat penjelasan
tentang syarat-syarat itu. Beliau rahimahullah ,
berkaitan dengan hukum orang yang berbicara
tentang kekafiran, telah mengatakan: “Adapun bila
orang tersebut: (1) mengetahui atau memahami
apa yang diucapkannya, maka bila ia (2) dengan
senang hati (tidak terpaksa) dan (3) sengaja dalam
mengucapkan apa yang dikatakannya; maka inilah
yang perkataannya terhitung ……” (maksudnya,
pengkafiran terhadap orang itu dapat dianggap).
Saya (Syaikh Ali Hasan) berkata,”Sebagai
kebalikannya adalah penghalang-penghalangnya.”
[7]. Jadi kegembiraan yang luar biasa itulah yang
menjadi sebab adanya penghalang yang
menghalangi hukum kafir terhadapnya, yaitu :
ketidak sengajaan. Maksudnya, ia tidak
bermaksud melakukan kekafiran. Perhatikanlah ini
hendaknya. Jika tidak, sesungguhnya orang yang
sengaja –dan tanpa ada unsur paksaan-
mengucapkan perkataan sejenis yang dapat
menyebabkan kekafiran –yaitu yang sama sekali
berlawanan dengan keimanan dari segala sisi-,
baik secara ucapan maupun secara perbuatan,
misalnya : mencaci Allah atau RasulNya
Shallallahu 'alaihi wa sallam atau yang semisalnya,
maka orang ini kafir, keluar dari agama. Murtad.
[8]. Yaitu para penguasa muslim –semoga Allah
memperbaiki negara dan hamba Allah- melalui
tangan mereka. Tentang dalil yang dijadikan
hujjah oleh orang-orang yang menyimpang
untuk mengkafirkan para penguasa secara total,
yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
ﻭﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻤﺂﺃﻧﺰﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﺄﻭﻻﺋﻚ ﻫﻢ
ﺍﻟﻜﺎﻓﺮﻭﻥ
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa
yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah
orang-orang kafir. [Al Ma’idah:44].
Maka tidak ada jawaban mencakup yang lebih
indah daripada perkataan Imam Ahmad
rahimahullah. (Beliau berkata): “ (Maksud ayat itu
ialah), kufur yang tidak mengeluarkan dari agama.
Seperti halnya iman, sebagiannya lebih rendah
dari sebagian yang lain (bertingkat-tingkat, Red),
demikian pula kufur. Sampai akhirnya datang
suatu bukti yang tidak diperselisihkan lagi di
dalamnya”. (Termuat dalam) Majmu’ Fatawa
Syaikhul Islam VII/254.

No comments:

Post a Comment