15 June 2011

Harta Haram Berubah Menjadi Halal

Syekh Shalih Alu Syaikh, Menteri Agama KSA
saat ini, mengatakan, “Di antara permasalahan
yang disinggung oleh para ulama ketika
membahas hadits keenam dalam kitab Arbain
An-Nawawiyyah (yaitu hadits yang berisi
perintah untuk menjauhi sesuatu yang belum
jelas kehalalannya, pent.) adalah permasalahan
memakan harta orang yang pendapatannya
bercampur antara sumber yang halal dengan
sumber yang haram. Misalnya: Tetangga yang
kita ketahui memiliki sumber pendapatan yang
haram, berupa menerima uang suap, memakan
riba, atau semisalnya, namun di sisi lain dia
memiliki sumber pendapatan yang halal. Apa
hukum harta orang semisal ini?

Dalam masalah ini, ada beberapa pendapat
ulama:
Pertama: Ada ulama yang memasukkan kasus
di atas ke dalam hadits keenam Arbain An-
Nawawiyyah. Sehingga, bentuk sikap wara’
(baca: hati-hati, pent.) untuk masalah ini adalah
menjauhi harta (misalnya: hadiah, jamuan ketika
bertamu ke rumahnya, dan sebagainya, pent.)
orang tersebut. Namun, hukum sikap ini adalah
dianjurkan, tidak wajib, karena dengan sikap ini,
kita menjadi lebih bersih dari kemungkinan yang
tidak diharapkan.
Kedua: Sejumlah (ulama lain) berpendapat
bahwa yang menjadi tolak ukur adalah jenis
harta yang paling dominan. Jika yang paling
dominan adalah harta yang berasal dari sumber
yang haram maka kita jauhi harta tersebut. Jika
yang paling dominan adalah harta yang berasal
dari sumber yang halal maka kita boleh
memakannya, selama kita tidak mengetahui
secara pasti bahwa harta yang dia suguhkan
atau dia hadiahkan kepada kita adalah harta yang
berasal dari sumber yang haram.
Ketiga: Ulama yang lain, semisal Ibnu Mas’ud,
mengatakan bahwa kita boleh memakan harta
orang tersebut, sedangkan tentang jalan
haram--yang ditempuh orang tersebut dalam
memperoleh hartanya--itu menjadi tanggung
jawabnya, karena cara mendapatkan harta itu
antara kita dengan dia berbeda. Orang tersebut
mendapatkan harta itu melalui profesi yang
haram, namun ketika dia memberikan harta
tersebut kepada kita, dia memberikannya
sebagai hadiah, hibah, jamuan tamu, atau
semisalnya kepada kita.
Perbedaan cara mendapatkan harta
menyebabkan berbedanya status hukum harta
tersebut. Sebagaimana dalam kisah Barirah.
Barirah mendapatkan sedekah berupa daging,
lalu daging tersebut dia hadiahkan kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah
diperkenankan untuk memakan harta sedekah.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
'Daging tersebut adalah sedekah untuk Barirah,
namun hadiah untuk kami.' (HR. Bukhari dan
Muslim, dari Aisyah)
Meski daging yang dihadiahkan kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah daging
yang disedekahkan kepada Barirah, tetapi status
hukumnya berbeda karena terdapat perbedaan
cara mendapatkannya. Berdasarkan
pertimbangan ini, sejumlah shahabat dan ulama
mengatakan bahwa kita boleh memakan harta
orang tersebut, sedangkan tentang adanya dosa,
maka itu menjadi tanggungan orang yang
memberikan harta tersebut kepada kita.
Alasannya, kita mendapatkan harta tersebut
dengan status hadiah, sehingga tidak ada
masalah jika kita memakannya.
Keempat: Sejumlah ulama yang lain
mengatakan bahwa kita boleh memakan harta
orang tersebut selama kita tidak mengetahui
bahwa harta tertentu yang dia berikan kepada
kita adalah harta yang haram. Jika kita
mengetahui bahwa harta yang dia berikan
kepada kita adalah harta yang berasal dari
sumber yang haram, kita tidak boleh memakan
harta tersebut saja, sedangkan hartanya yang
lain tetap boleh kita makan. Dalilnya adalah
orang-orang Yahudi yang memberi makanan
kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal
mereka adalah para rentenir. Meski demikian,
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tetap memakan
makanan yang diberi oleh orang-orang Yahudi
itu.
Inti kasus ini adalah: apakah contoh masalah
yang diperselisihkan para ulama termasuk dalam
hadits keenam Arbain Nawawiyyah ataukah
tidak? Sebagian ulama mengatakan bahwa kasus
di atas termasuk dalam hadits keenam Arbain
Nawawiyyah, sebagai bentuk kehati-hatian,
bukan karena orang yang memakan harta orang
yang sumber pendapatannya bercampur itu
berarti telah memakan harta yang haram. Meski
demikian, sejumlah ulama peneliti menguatkan
pendapat Ibnu Mas’ud.
Dari sisi dalil, pendapat Ibnu Mas’ud adalah
pilihan yang tepat. Di antara ulama yang
menguatkan pendapat Ibnu Mas’ud adalah Ibnu
Abdil Bar Al-Maliki, dalam kitabnya 'At-
Tamhid'.” (Syarah Arbain Nawawiyyah karya
Syekh Shalih Alu Syekh, hlm. 153--155, terbitan
Dar Al-‘Ashimah, Riyadh, cetakan pertama, 1431
H)
ﻋﻦ ﺫﺭ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﻗﺎﻝ : ﺟﺎﺀ
ﺇﻟﻴﻪ ﺭﺟﻞ ﻓﻘﺎﻝ : ﺇﻥ ﻟﻲ ﺟﺎﺭﺍ ﻳﺄﻛﻞ ﺍﻟﺮﺑﺎ ،
ﻭﺇﻧﻪ ﻻ ﻳﺰﺍﻝ ﻳﺪﻋﻮﻧﻲ ، ﻓﻘﺎﻝ : ﻣﻬﻨﺄﻩ ﻟﻚ ،
ﻭﺇﺛﻤﻪ ﻋﻠﻴﻪ
Dari Dzar bin Abdullah, dia berkata, “Ada
seseorang yang menemui Ibnu Mas’ud lalu
orang tersebut mengatakan, 'Sesungguhnya,
aku memiliki tetangga yang membungakan
utang, namun dia sering mengundangku untuk
makan di rumahnya.' Ibnu Mas’ud mengatakan,
'Untukmu enaknya (makanannya) sedangkan
dosa adalah tanggungannya.'” (Diriwayatkan
oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, no.
14675)
ﻋﻦ ﺳﻠﻤﺎﻥ ﺍﻟﻔﺎﺭﺳﻲ ﻗﺎﻝ: ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻟﻚ ﺻﺪﻳﻖ
ﻋﺎﻣﻞ، ﺃﻭ ﺟﺎﺭ ﻋﺎﻣﻞ ﺃﻭ ﺫﻭ ﻗﺮﺍﺑﺔ ﻋﺎﻣﻞ،
ﻓﺄﻫﺪﻯ ﻟﻚ ﻫﺪﻳﺔ، ﺃﻭ ﺩﻋﺎﻙ ﺇﻟﻰ ﻃﻌﺎﻡ، ﻓﺎﻗﺒﻠﻪ،
ﻓﺈﻥ ﻣﻬﻨﺄﻩ ﻟﻚ، ﻭﺇﺛﻤﻪ ﻋﻠﻴﻪ .
Dari Salman Al-Farisi, beliau mengatakan, “Jika
Anda memiliki kawan, tetangga, atau kerabat
yang profesinya haram, lalu dia memberi hadiah
kepada Anda atau mengajak Anda makan di
rumahnya, terimalah! Sesungguhnya, rasa
enaknya adalah hak Anda, sedangkan dosanya
adalah tanggung jawabnya.” (Diriwayatkan oleh
Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, no. 14677)
Ringkasnya, harta haram itu ada dua macam:
Pertama: Haram karena bendanya. Misalnya:
Babi dan khamar; mengonsumsinya adalah
haram atas orang yang mendapatkannya
maupun atas orang lain yang diberi hadiah oleh
orang yang mendapatkannya.
Kedua: Haram karena cara mendapatkannya.
Misalnya: Uang suap, gaji pegawai bank, dan
penghasilan pelacur; harta tersebut hanyalah
haram bagi orang yang mendapatkannya
dengan cara haram. Akan tetapi, jika orang
yang mendapatkannya dengan cara haram
tersebut menghadiahkan uang yang dia
dapatkan kepada orang lain, atau dia gunakan
uang tersebut untuk membeli makanan lalu
makanan tadi dia sajikan kepada orang lain yang
bertamu ke rumahnya, maka harta tadi berubah
menjadi halal untuk orang lain tadi, karena
adanya perbedaan cara mendapatkannya antara
orang yang memberi dengan orang yang diberi.
Inilah pendapat ulama yang paling kuat dalam
masalah ini, sebagaimana pendapat ini adalah
pendapat dua shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, yaitu Ibnu Mas’ud dan Salman Al-Farisi.
Artikel www.pengusahamuslim.com

3 comments:

  1. Assalamualaykum akhi fillah..afwan..bolehkah tukeran link.?..baarokallahu fiyk.silahkan ke http://tentarakecilku.blogspot.coma

    ReplyDelete
  2. Assalamualaykum akhi fillah..bolehkah tukeran link.?..baarokallahu fiyk.silahkan ke http://tentarakecilku.blogspot.com

    ReplyDelete
  3. Waalaikumsalam tafdhol, silahkan banner ana di copast, tungu aja ana akan meluncur

    ReplyDelete