04 September 2011

Mengkritisi Para PraktisiEkonomi Syariah (Seri 2)

Kritikan kedua: konsep ekonomi Qarun
Perhatian para praktisi ekonomi konvensional
atau syariat, hingga saat ini, hanya terpusat
pada upaya mewujudkan keuntungan,
menghindarkan kerugian, dan memeratakan
kesejahteraan. Bahkan, ada yang bermimpi
untuk melawan ketentuan Allah ta'ala, yaitu
dengan menghapuskan kemiskinan hingga 0%!
ﺃﻫﻢ ﻳﻘﺴﻤﻮﻥ ﺭﺣﻤﺔ ﺭﺑﻚ ﻧﺤﻦ ﻗﺴﻤﻨﺎ ﺑﻴﻨﻬﻢ
ﻣﻌﻴﺸﺘﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﺭﻓﻌﻨﺎ ﺑﻌﻀﻬﻢ
ﻓﻮﻕ ﺑﻌﺾ ﺩﺭﺟﺎﺕ ﻟﻴﺘﺨﺬ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺑﻌﻀﺎ ﺳﺨﺮﻳﺎ
ﻭﺭﺣﻤﺖ ﺭﺑﻚ ﺧﻴﺮ ﻣﻤﺎ ﻳﺠﻤﻌﻮﻥ
"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat
Rabbmu? Kami telah menentukan antara
mereka, penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. Dan
rahmat Rabbmu lebih baik dari segala sesuatu
yang mereka kumpulkan." (QS. Az-Zukhruf:32)
Banyak praktisi ekonomi syariat melalaikan
hubungan rezeki dengan Allah ta'ala. Karenanya,
betapa sering kita mendengar luapan
kekecewaan hati mereka. Menurut mereka,
Singapura, Inggris, dan berbagai negara kafir
lainnya telah lebih dahulu menjadi pusat
ekonomi Islam dibanding Indonesia. (http://
majalahekonomisyariah.com/index.php/web/
news/index/2/125320961)
Padahal, tidak dapat diragukan bahwa negara-
negara tersebut jauh dari dasar utama ekonomi
syariat Islam ini. Apalah gunanya keuntungan
besar bila para pelaku ekonomi jauh dari pijakan
dan dasar ini? Keuntungan besar dan
kesuksesan bisnis di dunia tidak cukup sebagai
bukti bahwa sistem yang diterapkan telah
selaras dengan syariat Islam.
Keuntungan yang besar bisa saja dicapai oleh
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah
ta'ala, dan bahkan menerapkan konsep yang
nyata-nyata bertentangan dengan agama Islam.
Ingatlah, bagaimana kisah Qarun; simbol
saudagar sukses, tetapi karena konsep
ekonominya tidak didasari oleh keimanan kepada
Allah, maka ia menanggung kebinasaan dunia-
akhirat.
ﻗﺎﻝ ﺇﻧﻤﺎ ﺃﻭﺗﻴﺘﻪ ﻋﻠﻰ ﻋﻠﻢ ﻋﻨﺪﻱ ﺃﻭﻟﻢ ﻳﻌﻠﻢ
ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺪ ﺃﻫﻠﻚ ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﻭﻥ ﻣﻦ ﻫﻮ
ﺃﺷﺪ ﻣﻨﻪ ﻗﻮﺓ ﻭﺃﻛﺜﺮ ﺟﻤﻌﺎ ﻭﻟﺎ ﻳﺴﺄﻝ ﻋﻦ
ﺫﻧﻮﺑﻬﻢ ﺍﻟﻤﺠﺮﻣﻮﻥ
"Qarun berkata, 'Sesungguhnya, aku
mendapatkan harta kekayaan itu hanya karena
kecerdasanku.' Dan apakah ia tidak mengetahui
bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan
umat-umat sebelumnya yang lebih kuat
daripadanya dan lebih banyak kumpulan
hartanya?" (QS. Al-Qashash:78)
Keimanan ini adalah syarat utama agar suatu
sistem atau konsep dapat dinyatakan sebagai
"syariat Islam". Secara lahir, bisa saja dua
amalan serupa, tetapi pada hakikatnya, dua
amalan itu sangat berbeda. Simaklah hadits
berikut,
ﻋﻦ ﺃﺑﻰ ﻣﻮﺳﻰ - ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ - ﻗﺎﻝ ﺟﺎﺀ ﺭﺟﻞ
ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻨﺒﻰ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻓﻘﺎﻝ
ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻳﻘﺎﺗﻞ ﻟﻠﻤﻐﻨﻢ ، ﻭﺍﻟﺮﺟﻞ ﻳﻘﺎﺗﻞ
ﻟﻠﺬﻛﺮ ، ﻭﺍﻟﺮﺟﻞ ﻳﻘﺎﺗﻞ ﻟﻴﺮﻯ ﻣﻜﺎﻧﻪ ، ﻓﻤﻦ ﻓﻰ
ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺎﻝ » ﻣﻦ ﻗﺎﺗﻞ ﻟﺘﻜﻮﻥ ﻛﻠﻤﺔ ﺍﻟﻠﻪ
ﻫﻰ ﺍﻟﻌﻠﻴﺎ ﻓﻬﻮ ﻓﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ
Abu Musa radhiallahu 'anhu mengisahkan, "Ada
seorang lelaki yang menemui Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu ia bertanya,
'Ada seseorang yang berjuang, hanya karena
ingin mendapatkan harta rampasan perang. Ada
lagi yang berjuang demi popularitas, dan ada
pula yang berjuang agar orang lain
menyaksikan keberaniannya di medan perang.
Siapakah dari mereka yang disebut 'berjuang di
jalan Allah'?'
(Menjawab pertanyaan ini), Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, 'Barang siapa yang
berjuang demi menjadikan hukum Allah
menjadi berjaya, maka ialah pejuang di jalan
Allah.'" (Muttafaqun 'alaih)
Saudaraku, akankan Anda masih silau dengan
derasnya dana-dana dari Timur Tengah yang
mengalir ke Singapura atau Australia, setelah
membaca dalil-dalil di atas dan merenungkan
kisah Qarun?
Masih layakkah bagi umat Islam, terlebih para
pakar ekonomi Islam, untuk merasa silau
dengan beberapa konsep negara kafir yang
tampak serupa dengan syariat Islam?
Perkenankan saya bertanya, "Menurut Anda,
apakah sama antara orang yang tidak mencuri
karena tidak memiliki kesempatan dengan orang
yang tidak mencuri karena takut kepada Allah?"
Kritikan ketiga: penyebab kerugian usaha
Sepanjang sejarah, dunia usaha senantiasa
dihiasi dengan kisah-kisah unik seputar
keuntungan dan kerugian. Dua kenyataan--
manis dan pahit--ini selalu bersandingan dan
tidak pernah bisa dipisahkan. Kerugian usaha
memiliki banyak faktor penyebab, dimulai dari
kesalahan manusia, musibah, hingga dosa para
pelaku usaha.
Gambaran mudah hubungan antara kerugian
dengan dunia usaha, bagaikan seorang
pengendara kendaraan dengan berbagai
kecelakaan yang ia alami. Ia bisa saja mengalami
kecelakaan, karena faktor kesalahannya,
kerusakan pada kendaraan, atau kerusakan pada
jalan. Tidak jarang pula, kecelakaan terjadi
karena murni atas kekuasaan Allah, untuk
menguji kadar keimanan pengendara kendaraan.
Karena itu, tidak perlu Anda berkecil hati bila
suatu saat Anda mengalami kerugian usaha,
padahal Anda rajin beribadah dan sepenuhnya
menjalankan syariat Islam dalam perniagaan
Anda.
Pada suatu hari, sahabat Abu Sa'id Al-Khudri
radhiallahu 'anhu bertanya kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam,
ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻯ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﺷﺪ ﺑﻼﺀ؟ ﻗﺎﻝ:
ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ . ﻗﻠﺖ: ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺛﻢ ﻣﻦ؟ ﻗﺎﻝ: ﺛﻢ
ﺍﻟﺼﺎﻟﺤﻮﻥ، ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺃﺣﺪﻫﻢ ﻟﻴﺒﺘﻠﻰ ﺑﺎﻟﻔﻘﺮ،
ﺣﺘﻰ ﻣﺎ ﻳﺠﺪ ﺃﺣﺪﻫﻢ ﺇﻻ ﺍﻟﻌﺒﺎﺀﺓ ﻳﺤﻮﻳﻬﺎ، ﻭﺇﻥ
ﻛﺎﻥ ﺃﺣﺪﻫﻢ ﻟﻴﻔﺮﺡ ﺑﺎﻟﺒﻼﺀ ﻛﻤﺎ ﻳﻔﺮﺡ ﺃﺣﺪﻛﻢ
ﺑﺎﻟﺮﺧﺎﺀ. ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ ﻭﺻﺤﺤﻪ
ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ
"Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling
berat ujiannya?" Beliau menjawab, "Para nabi."
Kembali, Abu Sa'id bertanya, "Wahai Rasulullah,
selanjutnya siapa?" Beliau kembali menjawab,
"Orang-orang saleh, ada dari mereka yang
dicoba dengan kemiskinan, sampai-sampai ia
tidak memiliki harta kekayaan kecuali baju yang
melekat di badannya. Dan sungguh, ia
berbahagia dengan kemiskinan yang ia
melilitnya, layaknya engkau berbahagia dengan
kelapangan (kemakmuran)." (HR. Ahmad dan
Ibnu Majah; oleh Al-Albani dinyatakan sebagai
hadits sahih)
Muhammad bin Sirin adalah seorang ulama
besar yang berprofesi sebagai seorang
saudagar. Akan tetapi, pada akhir hayatnya,
beliau ditimpa pailit dan terlilit utang sebesar tiga
puluh ribu dirham, sehingga beliau pun
dipenjara. Beliau baru dapat terbebas dari
penjara setelah salah seorang putranya, yang
bernama Abdullah, melunasi utangnya.
Yang unik dan layak menjadi pelajaran dari kisah
beliau, adalah pengakuannya tentang penyebab
beliau ditimpa kerugian dan musibah ini. Beliau
berkata, "Sesungguhnya, aku tahu penyebab
diriku dililit utang, yaitu ucapanku kepada
seseorang ketika 40 tahun silam, 'Wahai orang
pailit...'" Tatkala kisah pengakuan ini sampai ke
telinga Abu Sulaiman Ad-Darani, ia berkata,
"Dosa-dosa mereka itu begitu sedikit, sehingga
mereka mengetahui dari mana mereka ditimpa
petaka. Sedangkan kita, dosa kita begitu banyak
maka tidak heran bila kita tidak tahu, dosa
manakah yang menyebabkan kita ditimpa
musibah." (Hilyatul Auliya', 2:271, oleh Abu
Nu'aim Al-Ashbahani)
Oleh karena itu, sudah sepantasnya bila para
praktisi ekonomi Islam benar-benar
mengembalikan urusan rezeki kepada Allah,
sehingga kebahagian hidup yang merupakan
cita-cita setiap umat Islam dapat tercapai, walau
mungkin saja, urusan rezeki mereka kadang
seret. Tidak sepantasnya, kebahagian dan
kedamaian hidup umat Islam digantungkan
sepenuhnya dengan urusan harta benda. Akan
tetapi, sepantasnya digantungkan dengan Allah
ta'ala. Bila Anda puas dengan karunia Allah maka
kebahagian hidup pun menjadi milik Anda.
( ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﺒﺘﻠﻲ ﻋﺒﺪﻩ ﺑﻤﺎ
ﺃﻋﻄﺎﻩ ﻓﻤﻦ ﺭﺿﻲ ﺑﻤﺎ ﻗﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﻟﻪ ﺑﺎﺭﻙ
ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﻓﻴﻪ ﻭﻭﺳﻌﻪ ﻭﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺮﺽ ﻟﻢ ﻳﺒﺎﺭﻙ ﻟﻪ
ﻭﻟﻢ ﻳﺰﺩﻩ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻛﺘﺐ ﻟﻪ )ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ
ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻭﺻﺤﺤﻪ ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ
"Sesungguhnya, Allah yang Mahaluas karunia-
Nya lagi Mahatinggi akan menguji setiap hamba-
Nya dengan rezeki yang telah Ia berikan
kepadanya. Barang siapa yang ridha dengan
pembagian Allah 'Azza wa Jalla maka Allah akan
memberkahi dan melapangkan rezeki tersebut
untuknya. Barang siapa yang tidak ridha (tidak
puas), niscaya rezekinya tidak akan
diberkahi." (HR. Imam Ahmad; dinilai sahih oleh
Al-Albani)
Sebaliknya, bila Anda berlari mengejar ambisi
dan keserakahan dunia, niscaya Anda tidak akan
pernah mengenyam kebahagian hidup, walau
hanya sekejap mata.
( ﺗﻌﺲ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺪﻳﻨﺎﺭ ﻭﻋﺒﺪ ﺍﻟﺪﺭﻫﻢ ﻭﻋﺒﺪ
ﺍﻟﺨﻤﻴﺼﺔ ﺇﻥ ﺃﻋﻄﻲ ﺭﺿﻲ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻌﻂ ﺳﺨﻂ ﺗﻌﺲ
ﻭﺍﻧﺘﻜﺲ ﻭﺇﺫﺍ ﺷﻴﻚ ﻓﻼ ﺍﻧﺘﻘﺶ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
"Semoga pemuja dinar, dirham, dan baju sutra
(pemuja harta kekayaan, pent.) menjadi
sengsara! Bila diberi, ia merasa senang, dan bila
tidak diberi, ia menjadi benci. Semoga ia
menjadi sengsara dan semakin sengsara (bak
jatuh tertimpa tangga pula), dan bila ia tertusuk
duri, semoga tiada yang kuasa mencabut duri
itu darinya." (HR. Bukhari)
Kritikan keempat: pembelanjaan harta
Saya tidak meragukan bahwa metode
menghasilkan kekayaan dan keuntungan yang
selaras dengan syariat Allah adalah bagian dari
prinsip ekonomi Islam. Akan tetapi, itu hanyalah
separuh dari syariat Islam dan belum
seutuhnya, karena syariat Islam juga mengatur
metode pembelanjaan harta kekayaan yang
berhasil diperoleh.
Bisa saja Anda mendapatkan harta kekayaan dari
jalur-jalur yang halal, namun karena salah
membelanjakannya maka Anda tidak layak
untuk menyandang predikat "ekonom muslim".
Predikat "ekonom muslim" hanya dapat
disandang oleh orang yang berhasil meraup
keuntungan dari jalan-jalan yang halal, dan
selanjutnya membelanjakannya dengan cara
yang halal dan pada jalan yang halal.
Karenanya, dalam urusan ekonomi, Islam
mengajarkan prinsip: dari mana engkau
mendapatkan dan ke mana engkau belanjakan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
( ﻻ ﺗﺰﻭﻝ ﻗﺪﻣﺎ ﻋﺒﺪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﺣﺘﻰ ﻳﺴﺄﻝ ﻋﻦ
ﻋﻤﺮﻩ ﻓﻴﻤﺎ ﺃﻓﻨﺎﻩ ﻭﻋﻦ ﻋﻠﻤﻪ ﻓﻴﻤﺎ ﻓﻌﻞ ﻭﻋﻦ
ﻣﺎﻟﻪ ﻣﻦ ﺃﻳﻦ ﺍﻛﺘﺴﺒﻪ ﻭﻓﻴﻤﺎ ﺃﻧﻔﻘﻪ ﻭﻋﻦ ﺟﺴﻤﻪ
ﻓﻴﻤﺎ ﺃﺑﻼﻩ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﺻﺤﺤﻪ ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ
"Kelak, di hari kiamat, tidaklah kedua kaki setiap
hamba dapat bergeser hingga ia
mempertanggungjawabkan empat hal: tentang
umurnya, untuk urusan apa ia habiskan;
ilmunya, amalan yang ia lakukan dengannya;
harta kekayaannya, asal-muasal ia
mendapatkannya dan pembelanjaan yang dia
lakukan dengannya; raganya, untuk urusan apa
ia gunakan." (HR. At-Tirmidzi; oleh Al-Albani
dinilai sebagai hadits sahih)
Hadits ini mengantarkan kita kepada satu
kesimpulan besar: Ekonomi Islam hanya bisa
diterapkan dan dimiliki oleh umat Islam. Dasar
dari kesimpulan ini ialah karena orang-orang
kafir atau negara kafir tidak mungkin
mengindahkan syariat Islam dalam hal
pembelanjaan harta kekayaan.
Dengan demikian, tidak sepantasnya bila umat
Islam--dan para pakar ekonomi Islam secara
khusus--hanya mencurahkan perhatian pada
metode meraup keuntungan. Sudah saatnya
pula, kita semua menggalakkan dan menyeru
masyarakat Islam secara luas untuk
mengindahkah syariat Islam dalam hal
pembelanjaan harta kekayaan.
Bagaimana dengan diri Anda, Saudaraku?
Sudahkah Anda mengindahkan syariat Allah
dalam perekonomian? Dari mana Anda
mendapatkan kekayaan dan ke mana Anda
membelanjakannya?
Penutup
Saudaraku, apakah Anda mendampakan
perekonomian umat tegak berdiri di atas syariat
Islam? Menurut Anda, kapankah impian Anda ini
dapat terwujud?
Tidak perlu khawatir, Saudaraku. Impian Anda
mudah terwujud dan segera terwujud, insya
Allah, bila Anda telah memulainya. Tiada
perlunya Anda menanti orang lain yang
memulai. Akan tetapi, Andalah yang
sepantasnya menjadi pejuang terdepan. Dengan
demikian, saudara-saudara Anda yang lainnya
akan segera menyusul langkah Anda. Semoga
paparan singkat ini bermanfaat bagi Anda, dan
saya mohon maaf atas kekurangan dan
kesalahan. Wallahu a'lam bish-shawab.
Artikel www.PengusahaMuslim.com


Ust. Dr. Muhammad Arifin Badri
Doktor lulusan Universitas Islam Madinah, Arab
Saudi. Pendidikan S1, S2, dan S3 beliau
diselesaikan di jurusan yang sama, yaitu jurusan
Fikih, Fakultas Syariah. Beliau adalah pembina
Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI),
pengasuh milis Syariah PM-Fatwa, majalah
Pengusaha Muslim, dan website
PengusahaMuslim.com

No comments:

Post a Comment