04 September 2011

Nanti, Kalau Sudah Kaya, Bisa Rajin Ibadah

Ada seorang teman yang, secara ekonomi,
"kurang mapan". Dia kerap kali mengeluhkan
keadaan hidupnya. Agar tidak terlalu kelihatan
"gersulo", dia mengkaitkannya dengan ibadah.
Sekilas, dia memiliki ketertarikan dengan Islam
dan rajin beribadah. Maklum, dahulu, dia tinggal
di lingkungan yang gemar dengan "fadhilah
amal". Hanya saja, untuk saat ini, dia jarang ke
masjid. Alasannya, sibuk dengan pekerjaan.
"Saya hanya butuh modal 60 juta untuk usaha.
Nanti, kalau saya sudah punya usaha sendiri
'kan bisa rajin shalat jemaah, rajin ke pengajian,
bisa bebas mengatur waktu ibadah," ujar beliau.
Spontan, saya pun menyahut, "Apa bisa jamin,
kalau kaya bisa rajin ibadah? Jangan-jangan,
malah sibuk dengan usahanya."
"Ya, nanti kalau kaya 'kan bisa berangkat haji,
bisa mengulurkan tangan kepada orang lain,"
tambahnya.
Kaum muslimin yang budiman, saya yakin,
angan-angan semacam ini sering kita jumpai di
sekitar kita, atau mungkin, angan-angan itu
muncul dalam benak kita sendiri. Barangkali,
tidak hanya terkait dengan pribadi kita. Bahkan,
dalam lingkup yang lebih luas lagi. “Andaikan
kaum muslimin memiliki negara Islam, memiliki
infrastruktur dan fasilitas yang memadai,
memiliki persenjataan yang lengkap, memiliki
instansi moneter yang kuat ...,” dan seabrek
angan-angan lainnya.
Tidak dipungkiri bahwa angan-angan semacam
ini merupakan bagian dari tabiat yang ada dalam
diri manusia, yaitu kecintaannya terhadap dunia.
Latar belakang inilah yang menjadikan kita terlalu
berharap dengan dunia. Seolah-olah, hanya
dengan banyak fasilitas duniawi kita bisa
melaksanakan bentuk penghambaan kepada
Allah dengan sempurna. Namun, apakah
silogisme semacam ini bisa dibenarkan?
Barangkali, kita sering lupa bahwa umumnya
pengikut dakwah para nabi adalah masyarakat
kelas bawah, dari sisi perekonomian dan
jabatan. Bahkan, di antara mereka ada yang
berstatus sebagai budak yang bisa diperjual-
belikan. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih
Bukhari, bahwa ketika Abu Sufyan datang ke
Romawi, dia ditanya oleh Heraklius tentang
kebaradaan seorang nabi di Mekah. Heraklius
ingin membandingkan antara sifat-sifat kenabian
terakhir yang disebutkan dalam Taurat dengan
informasi yang disampaikan oleh Abu Sufyan.
Salah satu pertanyaan yang disampaikan adalah,
ﻭﺳﺄﻟﺘﻚ ﺃﺷﺮﺍﻑ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﺗﺒﻌﻮﻩ ﺃﻡ ﺿﻌﻔﺎﺅﻫﻢ؟
ﻓﺬﻛﺮ ﺃﻥ ﺿﻌﻔﺎﺀﻫﻢ ﺍﺗﺒﻌﻮﻩ ، ﻗﺎﻝ: ﻭﻫﻢ ﺃﺗﺒﺎﻉ
ﺍﻟﺮﺳﻞ
"Saya bertanya kepadamu, apakah yang
mengikutinya (Nabi) itu pemuka-pemuka
masyarakat ataukah orang-orang lemah di
kalangan mereka?" Abu Sufyan mengatakan,
"Yang mengikutinya adalah orang-orang lemah
di kalangan masyarakat." Heraklius berkomentar,
"Mereka itulah pengikut para rasul." (HR. Bukhari,
no. 7)
Satu hal yang menarik adalah komentar
Heraklius terhadap pernyataan Abu Sufyan,
yang merupakan hasil dari pengetahuan beliau
setelah membaca Alkitab (Taurat), bahwa orang-
orang yang lemah dan miskinlah yang
umumnya menjadi pengikut kebenaran.
Demikian realita sejarah pengikut para nabi yang
banyak kita jumpai dalam Alquran. Sebagi
contoh, Allah menceritakan perkataan umat Nabi
Nuh 'alaihis salam yang ingkar; mereka
memberikan komentar,
ﻭﻣﺎ ﻧﺮﺍﻙ ﺍﺗﺒﻌﻚ ﺇﻟﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻫﻢ ﺃﺭﺍﺫﻟﻨﺎ ﺑﺎﺩﻱ
ﺍﻟﺮﺃﻱ ﻭﻣﺎ ﻧﺮﻯ ﻟﻜﻢ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻣﻦ ﻓﻀﻞ
"Kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti
kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di
antara kami, yang bodoh pemikirannya, dan
kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu
kelebihan apa pun daripada kami." (QS. Hud:27)
Ini semua menunjukkan bahwa fasilitas duniawi
bukanlah "modal" mutlak bagi manusia untuk
bisa rajin beribadah. Justru sebaliknya,
kemegahan dunia yang dimiliki seseorang akan
menyibukkan manusia, sehingga tidak mampu
melaksanakan ibadah dengan baik kepada Allah.
Orang yang Allah pilih untuk menjadi pengikut
para nabi adalah orang yang notabene tidak
memiliki banyak fasilitas duniawi, sehingga tidak
ada penghalang berupa kesibukan dunia bagi
mereka untuk melaksanakan ketaatan kepada
Allah. Inilah isyarat dari makna sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam,
ﻓﻮﺍﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﺍﻟﻔﻘﺮ ﺃﺧﺸﻰ ﻋﻠﻴﻜﻢ ، ﻭﻟﻜﻨﻰ ﺃﺧﺸﻰ
ﺃﻥ ﺗﺒﺴﻂ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻛﻤﺎ ﺑﺴﻄﺖ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ
ﻗﺒﻠﻜﻢ ، ﻓﺘﻨﺎﻓﺴﻮﻫﺎ ﻛﻤﺎ ﺗﻨﺎﻓﺴﻮﻫﺎ ، ﻭﺗﻬﻠﻜﻜﻢ
ﻛﻤﺎ ﺃﻫﻠﻜﺘﻬﻢ
“Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku
takutkan menimpa kalian. Namun, aku takut
bahwa dunia akan dibentangkan untuk kalian,
sebagaimana dunia telah dibentangkan untuk
umat sebelum kalian. Akhirnya, kalian berlomba-
lomba mendapatkannya, sebagaimana yang
dilakukan orang-orang terdahulu. Selanjutnya,
dunia membinasakan kalian, sebagaimana
dahulu dunia telah membinasakan umat
sebelum kalian.” (HR. Bukhari, no. 4015)
Sebagai contoh, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
menggambarkan empat tokoh kesesatan dalam
sebuah hadis tentang shalat, yang semuanya
disebabkan karena penghalang dunia,
ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺤﺎﻓﻆ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ ﺑﺮﻫﺎﻥ ﻭﻻ ﻧﻮﺭ
ﻭﻻ ﻧﺠﺎﺓ ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻣﻊ ﻗﺎﺭﻭﻥ ﻭ
ﻫﺎﻣﺎﻥ ﻭ ﻓﺮﻋﻮﻥ ﻭ ﺃﺑﻲ ﺑﻦ ﺧﻠﻒ
“Barang siapa yang tidak menjaga shalat maka
dia tidak memiliki bukti, cahaya, dan
keselamatan. Pada hari kiamat kelak, dia
dikumpulkan bersama Qarun, Haman, Fir'aun,
dan Ubai bin Khalaf.” (HR. Ibnu Hibban, no.
1467; dinilai sahih oleh Syuaib Al-Arnauth)
Empat tokoh di atas merupakan gembong
kekafiran: Qarun, orang yang sesat karena sibuk
dengan hartanya; Haman sesat demi menjaga
jabatannya sebagai panglima Fir'aun; Fir'aun kafir
karena gengsi dengan pangkat dan
kedudukannya; Ubai bin Khalaf menjadi musuh
Islam karena harta perdagangannya.
Pilihan Allah untuk Nabi-Nya shallallahu
'alaihi wa sallam
Sebagaimana yang kita pahami dalam sejarah,
kehidupan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
sangat jauh dari fasilitas duniawi yang memadai.
Banyak keterangan dari para istri beliau, yang
menceritakan keadaan beliau yang sangat jauh
dari kemewahan duniawi. Beliau pernah keluar
rumah karena kelaparan, dapur beliau pernah
tidak mengepulkan asap selama tiga hari, beliau
menggadaikan baju besi beliau untuk
mendapatkan beberapa gantang gandum.
Beliau jalani keadaan ini sampai akhir hayat
beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana
yang diceritakan Aisyah radhiallahu 'anha,
ﻣﺎ ﺷﺒﻊ ﺁﻝ ﻣﺤﻤﺪ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻣﻨﺬ
ﻗﺪﻡ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻣﻦ ﻃﻌﺎﻡ ﺍﻟﺒﺮ ﺛﻼﺙ ﻟﻴﺎﻝ
ﺗﺒﺎﻋﺎ ، ﺣﺘﻰ ﻗﺒﺾ
“Keluarga Muhammad--shallallahu 'alaihi wa
sallam--tidak pernah kenyang dengan makanan
gandum selama tiga hari berturut-turut, sampai
beliau meninggal.” (HR. Bukhari, no. 5416)
Bahkan, keadaan beliau ini, juga terjadi pada
tempat tinggal beliau. Al-Hasan Al-Bashri, salah
satu ulama tabi'in yang sewaktu kecilnya diasuh
oleh sebagian istri Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, menggambarkan kesederhanaan rumah
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau
mengatakan,
ﻛﻨﺖ ﺃﺩﺧﻞ ﺑﻴﻮﺕ ﺃﺯﻭﺍﺝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺧﻼﻓﺔ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﻋﻔﺎﻥ ﻓﺄﺗﻨﺎﻭﻝ ﺳﻘﻔﻬﺎ
ﺑﻴﺪﻱ
“Aku pernah masuk ke rumah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam di zaman
pemerintahan Utsman, dan aku bisa memegang
atap rumah beliau dengan tanganku.” (Ath-
Thabaqat Al-Kubra, 1:501, Ibnu Sa'd)
Demikianlah gambaran kehidupan yang Allah
pilihkan untuk Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa
sallam. Andaikan dunia itu merupakan fasilitas
utama seseorang untuk bisa semakin bertakwa
kepada Allah, tentu Allah akan berikan kehidupan
yang jauh lebih lebih lengkap fasilitasnya
daripada kondisi yang beliau alami.
Barangkali, ada sebagian orang yang akan
berkomentar, "Bukankah kita temukan banyak
orang menjadi kafir gara-gara kemiskinan dan
masalah ekonomi? Bahkan, ini dikuatkan dengan
hadis,
ﻛﺎﺩ ﺍﻟﻔﻘﺮ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻛﻔﺮﺍ
'Hampir saja kefakiran itu menjadi kekufuran.'"
Komentar ini bisa kita dinilai kurang tepat,
dengan dua alasan:
1. Dengan asumsi bahwa pernyataan di atas
adalah hadis maka maksud "fakir" yang
disebutkan dalam pernyataan di atas bukanlah
"fakir harta", namun "fakir hati"-nya. Dengan
demikian, dirinya selalu merasa kurang dan
kurang, meskipun pada kenyataannya memiliki
banyak fasilitas hidup. Makna ini sesuai dengan
doa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Allahumma inni a'udzu bika minal kufri wal
faqri (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
kekafiran dan kefakiran)." Karena itu, Allah
jadikan beliau orang yang tidak butuh dunia,
meskipun--secara ekonomi--beliau tergolong
"miskin".
2. Yang lebih tepat, pernyataan di atas bukanlah
hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Banyak
ulama ahli hadis menjelaskan bahwa hadis di
atas adalah hadis dha'if, sebagaimana keterangan
Imam As-Sakhawi (murid Ibnu Hajar) dalam
kitab Al-Maqashid Al-Hasanah. Kesimpulan
tentang lemahnya hadis ini juga diamini oleh ahli
hadis abad ini, Imam Muhammad Nashiruddin
Al-Albani.
Sementara, untuk amal ibadah yang
membutuhkan modal khusus, semacam zakat,
haji, atau umrah, bagi Anda yang tidak mampu
maka itu bukan kewajiban Anda. Sekali lagi, itu
hanya kewajiban bagi yang mampu. Karena itu,
harap untuk tidak terlalu dirisaukan.
Kuncinya adalah ridha
Suatu ketika, ada seseorang yang melapor
kepada Hasan bin Ali radhiallahu 'anhuma, cucu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa
Abu Darda' radhiallahu 'anhu pernah
mengatakan, “Kefakiran itu lebih aku cintai
daripada kaya, dan kondisi sakit lebih aku sukai
daripada kondisi sehat.” Setelah mendengar
laporan ini, Hasan mengatakan, “Semoga Allah
mengampuni Abu Darda', adapun yang benar,
saya katakan,
ﻣﻦ ﺍﺗﻜﻞ ﻋﻠﻰ ﺣﺴﻦ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﻟﻢ ﻳﺘﻤﻦ
ﻏﻴﺮ ﺍﻟﺤﺎﻟﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺍﺧﺘﺎﺭ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ
'Barang siapa yang bersandar kepada pilihan
terbaik yang Allah berikan untuknya, dia tidak
akan berangan-angan selain keadaan yang
dipilihkan untuknya.'"
Sekilas, bagi orang yang gemar dengan fadhilah
amal, mereka akan membenarkan perkataan
Abu Darda', karena dengan kondisi semacam
itu, orang bisa mendapatkan banyak pahala dan
keutamaan. Namun, hal ini lain bagi cucu Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam; seorang hamba
hendaknya pasrah terhadap kondisi keduniaan
yang dia jalani.
Semua orang bisa menjalani ibadah tanpa harus
menjadi orang kaya. Anda, saya, mereka adalah
hamba Allah, yang memiliki tugas yang sama,
yaitu mengnhambakan dirinya kepada Allah
ta'ala. Keadaan dunia yang saat ini kita alami,
disadari maupun tidak, merupakan pilihan yang
Allah berikan untuk kita. Tinggal bagaimana kita
menyikapinya.
Allahumma a'inni 'ala dzikrika wa syukrika wa
husni 'ibadatik. Ya Allah, tolonglah aku untuk
bisa mengingat-Mu, bersyukur atas nikmat dari-
Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.
Artikel www.PengusahaMuslim.com

No comments:

Post a Comment